Teritorialitas

Selasa, 29 Maret 2011

Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar, 1990, mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu :
  •  kepemilikan atau hak dari suatu tempat
  • personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
  • hak untuk mempertahankan diri dari ganggun luar
  • pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika
Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spesial yang saling terkait satu sama lain :
  •  personal space
  • home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif
  • home range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang 

Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu :
Teritorial primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusu bagipemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadapaspek psikologis pemiliknya.
Teritori sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakanoleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu.
Teritorial umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Tritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.

Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Teritorialitas pada setiap negara berbeda-beda tergantung dari budaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Jenis kelamin juga mempengaruhi teritorialitas seeorang, dimana wanita memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan pria. Lalu penduduk desa lebih tinggi toleransinya dalam menentukan teritorialitasnya dibandingkan dengan penduduk yang tinggal diperkotaan.

Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku untuk mencapai privasi tertentu. Dalam hal ini teritorialitas memperlihatkan dengan jelas dan nyata batas-batasan antar diri dengan orang lain, dengan tempat yang relatif tetap. Teritori artinya wilayah atau daerah, dan teritorialitas (territoriality) adalah batasan tampak atas wilayah yang dimiliki oleh individu atau wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang.
Teritorialitas juga dapat disebut sebagai suatu pola tingkah laku yag ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan privasi saja, tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan komunikasi.
Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan seseorang atau kelompok atas suatu tempat atau lokasi. Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Degan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial primer. Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorialitas, yaitu :

1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari ganggunan luar
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasra psikologis

sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika
Menurut Altman (1975), territorial bukan hanya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi pula sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan social. Altman juga membagi territorialitas menjadi tiga, yaitu :

1. Territorial Primer
Jenis tritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori uatam ini akan mengakibatkantimbulnya perlawanan dari pemiliknya karena menyangkut masalah serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya.

2. Territorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Territorial ini juga dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritori sekunder adalah semi-publik.

3. Territorial Umum
Territorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
Bentuk pelanggaran teritori dapat diindikasikan adalah sebagai suatu invasi ruang. Secara fisik seseorang memasuki teritori orang lain biasanya dengan maksud mengambil kendali atas teritori tersebut.
Bentuk lainnya adalah kekerasan, sebagai sebuah bentuk pelanggaran yang bersifat temporer atas teritori orang lain, biasanya hal ini bukan untuk menguasai teritori orang lain melainkan suatu bentuk gangguan.
Bentuk selanjutnya adalah kontaminasi, yaitu seseorang mengganggu teritori orang lain dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan atau merusaknya.
Pertahanan yang dapat dilakukan untuk mencegah pelanggaran teritori antara lain:
• Pencegahan seperti memberi lapisan pelindung, memberi rambu-rambu atau pagar batas sebagai antisipasi terhadap bentuk pelanggaran.
• Reaksi sebagai respon terhadap terjadinya pelanggaran, seperti contohnya menegur.

Sumber : http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
http://kencurz-by.blogspot.com/2010/04/teritorialitas.html
Arsitektur dan Perilaku Manusia, karya Joyce Marcella Laurens
Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.

Personal Space

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak social antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu yang lain.
Menurut Sommer (dalam Altman, 1975), Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975), menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasrkan hasil – hasil penelitian, antara lain :
Menurut Edward T. Hall (dalam Altman, 1975), seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat empat zona spasial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak publik.

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_pelanggaran_harapan

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak social antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu yang lain.
Menurut Sommer (dalam Altman, 1975), Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975), menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasrkan hasil – hasil penelitian, antara lain :
Menurut Edward T. Hall (dalam Altman, 1975), seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat empat zona spasial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak publik.

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Sumber :

Mengenai Kesesakan (Crowding)

Selasa, 08 Maret 2011

Crowding (Kesesakan)

BAB I

1. PENGERTIAN KESESAKAN
Kesesakan merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara didunia dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumbar daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.
Kesesakan timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dibanyak negara(mis: Indonesia, Cina, India dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam perspektif Psikologis dari kesesakan adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destrukif.

2. PENYEBAB PENDUDUK DUNIA MAKIN PADAT
Masalah kepadatan penduduk disebabkan akibat menurunnya tingkat kematian dengan tanpa disertai menurunnya tingkat kesuburan. Umumnya dinegara-negara berkembang sudah mampu menurunkan tingkat kesuburan, sedangkan dinegara-negara yang sedang berkembang belum mampu menurunkan tingkat kematian dan kesuburan.
Ada alasan-alasan tertentu mengapa tingkat pertambahan penduduk di negara yang sedang berkembang itu tetap tinggi. Beberapa pendapat yang diperkuat oleh hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat pertambahan penduduk yang tinggi tersebut antara lain disebabkan oleh :
1. Kesuburan yang tinggi merupakan jawaban terhadap kematian yang tinggi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga bangsa dan agama.
2. Dinegara-negara yang sedang berkembang , anak adalah kekayaan orang tua karena merupakan jaminan sosial, ekonomi, dan emosi dihari tua.
3. Dinegara berkembang, perkawainan pada usia remaja sering dilakukan, terutama di desa-desa.
4. Para orang tua dan mertua selalu mengharapkan perkawinan anaknya segera dikaruniani anak.
5. Menurut Masri Singarimbun(1977), para orang tua di Sunda dan Jawa, baik di desa maupun dikota mempunyai konsep yang sama tentang besarnya keluarga ideal. Keluarga ideal tersebut terdiri dari suami, istri, dan 4 orang anak.

3. Teori Kesesakan
Kepadatan memang mengakibatkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Ada 3 konsep yang menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, teori ecological model (Stocols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain;1987). Ketiga konsep tersebut menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Semakin padat suatu kawasan semakin banyak informasi yang melintas dihadapan penghuni adalah dinamika yang tidak terhindarkan, bila informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya , maka timbulah maslah psikologis.
Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu. Konsep ini berkaitan dengan konsep ekologi. Ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi maka lingkungan alam dan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah( Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif( Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa; 2)munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3)munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka; 4)menurunya prestasi kerja.








--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jika konsep kepadatan didefinisikan sebagai luas wilayah dibagi jumlah orang atau barang yang ada di dalamnya, maka jelas terlihat betapa kota jauh lebih padat dibanding dengan desa. Sebagai tempat berpijak dan bekerja, kota memiliki luas wilayah yang relatif tetap, bahkan berkurang. Artinya, tanah-tanah yang awalnya adalah pemukiman penduduk sekarang telah beralih fungsi menjadi pusat perkantoran dan perdagangan. Kecenderungan ruang yang semakin menyusut yang disertai dengan jumlah pertumbuhan manusia yang semakin banyak ini membuat kota tidak sepenuhnya mampu menyediakan tempat tinggal yang layak bagi para penghuninya.
Berdasarkan hitungan di atas kertas, Indonesia dalam waktu dua puluh lima tahun mendatang membutuhkan sekitar satu juta hektar luas lahan untuk menampung pertumbuhan penduduk kota yang semakin tak terkendali. Ini belum termasuk kebutuhan lahan untuk pengembangan kawasan perkotaan non-pemukiman seperti kawasan perkantoran dan pariwisata. Artinya, pada dekade pertama milenium ketiga (2000-2010), setiap tahun Indonesia harus menyiapkan daerah perkotaan baru rata-rata seluas sekitar lima puluh ribu hektar demi menampung tiga setengah juta penduduk baru (Santoso, 2006: 48). Hal ini mustahil, jika dilihat dari kondisi ruang perkotaan yang semakin mengkerut dan strategi pengembangan kota-kota di Indonesia sekarang ini yang semata-mata diserahkan kepada mekanisme pasar.
Perbandingan yang tidak seimbang antara ketersediaan ruang perkotaan dengan jumlah penghuninya yang semakin membludak secara sosial berdampak pada munculnya fenomena kepadatan (density), dan secara subjektif akan menimbulkan fenomena kesesakan (crowding). Keduanya merupakan ancaman serius yang dapat menggerogoti kesejahteraan hidup warga perkotaan.
Kesesakan adalah persepsi subjektif individu terhadap keterbatasan atau kepadatan ruang yang dinaunginya, atau perasaan subjektif karena terlalu banyak orang di sekelingnya (Gilford, 1987: 23). Kesesakan selalu bervalensi negatif karena dapat memicu perasaan tidak nyaman dan tidak menyenangkan bagi individu. Jika kesesakan berlangsung dalam waktu yang lama, dan individu mempersepsinya sebagai kondisi yang tak terhindarkan, maka kesejahteraan subjektif individu(subjective well-being) akan terancam—bahkan merosot tajam—sehingga muncul gangguan-gangguan psikologis seperti stres atau depresi.

Mekanisme adaptasi
Respon terhadap kesesakan selalu bersifat subjketif. Individu dituntut untuk tetap survive di tengah kondisi kehidupan perkotaan yang semakin berat. Untuk tetap mempertahankan subjective well-being-nya, individu akan menempuh langkah-langkah adaptasi sesuai dengan sumber daya lingkungan yang dimilikinya.
Adaptasi merupakan kapasitas individu untuk dapat mengontrol kembali kondisi lingkungan yang mengancam kenyamanan dirinya dan kemampun mempersiapkan diri untuk mengantisipasi kejadian-kejadian tak terduga di masa yang akan datang. Adaptasi terhadap kepadatan sosial merupakan langkah subjektif untuk menekan stimulus lingkungan yang bersifat mengganggu.
Dalam kajian psikologi lingkungan (environmental psychology), dikenal dua model adaptasi terkait dengan kepadatan sosial.
Pertama, pendekatan teritorialitas. Pendekatan ini berorientasi pada pembentukan kawasan geografis untuk mencapai tingkat privasi optimal. Usaha yang lazim digunakan adalah dengan menyusun ulang setting lingkungan atau pindah ke lokasi lain. Penyusunan setting lingkungan biasanya dilakukan dengan membuat tanda teritori seperti pagar, sungai buatan, atau taman. Keterbatasan pendekatan ini adalah bersifat statis—tidak ekspansif—karena berbasis pada struktur ruang yang definitif. Selain itu, pendekatan ini hanya berlaku dalam iklim sosial yang penuh kompetisi, yang konsekuensinya dapat menimbulkan prasangka dan jarak sosial (social gape).
Kedua, pendekatan ketrampilan diri. Pertama-tama individu mempersepsi kesesakan sebagai ketidaknyamanan yang muncul dari kehadiran orang lain dalam jumlah yang tidak dapat dikontrol sehingga membatasi kebebasan individu. Dengan begitu, yang paling penting dari pendekatan ini adalah resetting struktur kognitif agar lahir persepsi baru yang lebih positif terhadap kehadiran orang lain dan lingkungan. Berbeda dengan pendekatan teritorialitas yang melihat kehadiran orang lain sebagai ancaman, pendekatan ketrampilan diri menekankan evaluasi positif atas orang lain (Fisher & Bell, 1984: 87). Keterbatasan dari model adapatasi ini adalah semata-mata bertumpu pada individu. Padahal, lingkungan perkotaan sangat menentukan bagaimana persepsi individu itu terbentuk. Lingkungan perkotaan yang nyaman dan aman tentunya akan lebih mampu membuat individu mempersepsi orang lain secara lebih positif daripada lingkungan perkotaan yang penuh tindak kriminal.

Strategi pengembangan kota
Parameter umum yang dapat dijadikan acuan apakah sebuah kota itu nyaman dihuni atau tidak terletak pada sejauh mana derajad kepublikan dan daya dukung sebuah kota bagi aktivitas warganya. Semakin kota memiliki derajad kepublikan yang tinggi dan mampu menyediakan kenyamanan bagi aktivitas warganya, maka kota tersebut dapat dikatakan sebagai kota yang sehat. Sebaliknya, jika sebuah kota itu bersifat mengisolasi dan menghambat aktivitas warganya sehingga tidak nyaman untuk dihuni, maka kota tersebut adalah kota yang sakit (the sick city).
Kota yang sehat adalah tempat bermukim yang nyaman dan memilliki konsep pengembangan kota yang berkelanjutan. Setidaknya, sebuh kota yang sehat memiliki visi pembangunan yang bertumpu pada pencapaian-pencapaian sebagai berikut:
Pertama, memiliki standar kenyamanan (standard of livability) yang tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tingkat kenyamanan dan kesejahteraan warganya dengan kenyamanan dan kesejahteraan warga kota lain.
Kedua, memiliki manajemen perkotaan yang mampu menjaga keutuhan kawasan per kawasan. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan setiap kawasan sebagai langkah awal untuk menjaga keutuhan lingkungan perkotaan secara keseluruhan, dan untuk mengembangkan kawasan baru dalam rangka mengembangkan fungsi-fungsi perkotaan yang baru.
Ketiga, memiliki institusi khusus yang dapat memobilisasi sumber-sumber pendanaan pembangunan pemukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan sampai batas tertentu terlepas dari mekanisme pasar (Santoso, 2006:103).
Disamping ketiga hal di atas, dan tak kalah pentingnya, adalah terkait dengan komposisi penggunaan lahan perkotaan. Sebuah kota yang sehat juga harus menyediakan kurang lebih tiga puluh persen luas lahannya untuk area hijau. Area ini berfungsi sebagai paru-paru kota, yang akan menjaga kebersihan udara perkotaan dari dampak buruk gas buang kendaraan bermotor yang semakin tinggi.


Sumber: Afif, Afthonul. 2008. Kesesakan. http://psikotikafif.wordpress.com/2008/06/25/59/. Diakses tanggal 26 Februari 2011.
Sumber : http://docs.google.com

Akibat Kepadatan Tinggi


Akibat dari kepadatan yang tinggi menurut Hamistra dan Mc. Farling yaitu :
1. Fisik, seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah yang meningkat, dan lain sebagainya.
2. Akibat social, menyebabkan kenakalan dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Manusiapun menampakan tingkah laku yang menyerupai behavioral sink sebagai akibat dari kepadatan dan kesesakan. Holahan mencatat beberapa gejala sebagai berikut :
a. Dampak pada penyakit dan patologi social
1. Reaksi fisiologik, misalya meningkatkan tekanan darah.
2. Penyakit fisik, seperti psikosomatik dan meningkatnya angka kematian.
3.Patologi social, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan tingkat kenakalan pada remaja.

b.Dampak pada tingkah laku social
1. Agresi
2. Menarik diri dari lingkungan social
3. Berkurangnya tingkah laku menolong
4. Cenderung lebih banyak melihat sisi buruk dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lainitu jika berada dalam tempat yang padat dan sesak.
c. Dampak pada hasil usaha dan suasana hati
1. Hasil usaha dan prestasi kerja menurun
2. Suasana hati cenderung lebih murung.
Jumlah manusia yang makin meningkat memiliki dampak dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan.
1. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Bidang Ekonomi
Dampak kepadatan penduduk terhadap ekonomi adalah pendapatan per kapita berkurang sehingga daya beli masyarakat menurun. Hal ini juga menyebabkan kemampuan menabung masyarakat menurun sehingga dana untuk pembangunan negara berkurang. Ak ibatnya, lapangan kerja menjadi berkurang dan pengangguran makin meningkat.
2. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Bidang Sosial
Jika lapangan pekerjaan berkurang, maka pengangguran akan men ingkat. Hal ini akan meningkatkan kejahatan. Selain itu, terjadinya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang layak makin meningkatkan penduduk kota. Hal ini berdampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat.
3. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Lingkungan
Jumlah penduduk yang makin meningkat menyebabkan kebutuhannya makin meningkat pula. Hal ini berdampak negatif pada lingkungan, yaitu:
1) Makin berkurangnya lahan produktif, seperti sawah dan perkebunan karena lahan tersebut dipakai untuk pemukiman.
2) Makin berkurangnya ketersediaan air bersih. Manusia membutuhkan air bersih untuk keperluan hidupnya. Pertambahan penduduk akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan air bersih. Hal ini menyebabkan persediaan air bersih menurun.
3) Pertambahan penduduk juga menyebabkan arus mobilitas meningkat. Akibatnya, kebutuhan alat tranportasi meningkat dan kebutuhan energi seperti minyak bumi meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan membuat persediaan minyak bumi makin menipis.
4) Pertambahan penduduk juga menyebabkan makin meningkatnya limbah rumah tangga, seperti sampah dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
C. Pencemaran Lingkungan
Pencemaran atau polusi adalah penambahan segala substansi ke lingkungan akibat aktivitas manusia. Sedangkan, polutan adalah segala sesuatu yang menyebabkan polusi. Semua zat dikategorikan sebagai polutan bila kadarnya melebihi batas normal, berada di tempat yang tidak semestinya, dan berada pada waktu yang tidak tepat.
Pencemaran atau polusi tidak dapat dihindari, yang dapat dilakukan adalah mengurangi, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat kepada lingkungannya.
  1. Pencemaran Air
Penyebab pencemaran air adalah limbah pabrik atau limbah rumah tangga. Bahan pencemar berupa bahan kimia yang mengandung racun, mudah mengendap, mengandung radioaktif, panas, dan pembongkarannya banyak memerlukan oksigen. Polutan yang menyebabkan pencemaran air harus diuraikan. Penguraian polutan tersebut memerlukan banyak O  sehingga menyebabkan kekurangan O
dalam air yang berpengaruh terhadap kehidupan di air. Banyak ikan yang mati karena kekurangan oksigen. Pencemaran air menyebabkan air berwarna hitam, kotor, dan berbau busuk. Pencemaran nitrogen dalam perairan menyebabkan eutrofikasi, yaitu ledakan pertumbuhan tumbuhan air, seperti eceng gondok.  Air ya ng tercemar dapat dikurangi kadar pencemarannya dengan cara menyaring, mengencerkan, dan mengendapkan. Pabrik-pabrik diwajibkan menampung dan mengolah limbah, WC pada setiap rumah tangga perlu dilengkapi dengan septic tank.
  1. Pencemaran Tanah
Bahan pencemar tanah berasal dari limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan barang-barang rongsokan. Bahan pencemar yang sukar dihancurkan oleh mikroba adalah plastik, stiroform, kaca, dan lain-lain. Untuk mengurangi pencemaran ini banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendaur ulang bahan-bahan tersebut.
  1. Pencemaran Udara
Bahan pencemar udara umumnya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna oleh mesin-mesin pabrik, pembangkit listrik, kendaraan bermotor, dan lain-lain. Dari pembakaran tersebut akan dihasilkan gas dan asap yang sangat membahayakan. Bahan-bahan yang dapat mencemari udara adalah oksida karbon (CO2 dan CO), oksida belerang (SO dan SO), senyawa hidrokarbon (CH4 dan C2), partikel cair (asam sulfat, asam nitrat), dan lain-lain.
Pencemaran udara dapat mengakibatkan beberapa hal, antara lain:
a. Jika kadar CO tinggi, gas tersebut akan membentuk lapisan tersendiri di atmosfer, lapisan ini menyerap sinar matahari yang harusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa. Hal ini menyebabkan suhu di bumi meningkat, sehingga es di kutub mencair dan permukaan air laut naik. Akibatnya daratan bisa tenggelam. Peristiwa ini disebut efek rumah kaca.
b. Gas CO merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna. Gas CO mempunyai daya ikat lebih tinggi terhadap hemoglobin dibandingkan gas O2  sehingga ikatan Hb dengan CO lebih stabil. Jika banyak hemoglobin  yang berikatan dengan gas CO akan menyebabkan tubuh kita kekurangan O2
Akibatnya, badanmu menjadi lemas.
c. Oksida belerang dan oksida nitrogen jika bereaksi dengan air akan membentuk senyawa sulfat dan nitrat yang bersifat asam. Zat asam tersebut jika turun bersama hujan akan menyebabkan hujan asam dan dapat merusak tumbuhan, mikroorganisme tanah serta kehidupan hewan air tawar.
d. Gas  CFC yang digunakan sebagai pendingin (AC, lemari es, dan dispenser) atau gas penyemprot akan merusak ozon sehingga meningkatkan radiasi sinar ultraviolet ke muka bumi dan dapat menyebabkan timbulnya kanker kulit.
4. Pencemaran Suara
Pencemaran suara disebabkan oleh suara bising yang terus menerus.  Suara tersebut dapat ditimbulkan oleh mesin instalasi listrik pabrik, pesawat terbang, kereta api, dan lain-lain. Akibat pencemaran tersebut dapat menimbulkan gangguan pendengaran, tekanan darah, jantung, dan lain-lain.
D. Penyebab Pencemaran Lingkungan
Kepadatan manusia berdampak pada pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia.
  1. Faktor Alam
Pencemaran lingkungan dapat terjadi secara alami, contohnya letusan gunung, gempa bumi, perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan angin topan. Biasanya manusia hanya dapat memperkirakan dan mengurangi dampaknya.
  1. Faktor Manusia
Manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam dari lingkungannya. Jika populasi manusia makin banyak, maka makin banyak sumber daya alam yang diambil dari lingkungannya. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran.
Ada beberapa  perilaku manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia secara global, antara lain: 1) Penebangan hutan hujan tropik di Indonesia dapat berpengaruh 180 pada perubahan iklim global karena hutan merupakan paru-paru dunia.
2) Uji coba senjata nuklir berpengaruh pada perubahan iklim global. hasil pembakaran dapat menimbulkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca dapat menyebabkan es mencair sehingga permukaan air laut meningkat dan dapat menenggelamkan daratan.
3) CO2
E. Peranan Manusia Mengatasi Pencemaran Lingkungan
Manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang terjadi akibat ulah manusia sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan manusia untuk mengatasi pencemaran lingkungan akan diuraikan berikut ini:
  1. Melakukan Penghijauan Salah satu cara mengatasi pencemaran tanah adalah penghijauan kembali dengan cara memberi humus tanah, sehingga tanaman kembali subur.
  2. Rotasi Tanaman Rotasi tanaman adalah  salah satu upaya yang dilakukan untuk  mempertahankan kesuburan tanah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanam jenis tanaman yang berbeda pada tempat yang sama secara bergantian.
  3. Penggunaan Pupuk Seperlunya
Penggunaan pu puk buatan seperti urea, ZA, dan NSP yang berlebihan sangat merusak lingkungan karena dapat menyebabkan eutrofikasi dan dapat meningkatkan keasaman tanah.
Sebaiknya, petani menggunakan pupuk alami, seperti pupuk kompos dan pupuk kandang untuk mengurangi pencemaran tanah.
  1. Pembuatan Sengkedan
Salah satu upaya untuk mengatasi kerusakan tanah karena erosi adalah dengan pembuatan sengkedan di tanah berbidang miring, seperti lereng bukit dan pegunungan. Mengapa sengkedan ini dapat mengurangi erosi? Diskusikan dengan teman sekelompokmu.
  1. Reboisasi
Reboisasi adalah  p enanaman kembali lahan-lahan yang gundul. Hal ini dilakukan untuk mengatasi erosi karena akar-akar pohon dapat menyerap air dan menahan tanah agar tidak terbawa air hujan.
  1. Daur Ulang
Saat ini banyak sekali produk daur ulang yang bisa dipakai kembali.
Pendaur-ulangan sampah-sampah rumah tangga dan sampah dari pasar menjadi pupuk yang dapat dimanfaatkan petani. Biasanya sampah pasar berupa sayur-sayuran yang telah membusuk. Jika diolah kembali dan ditambah kotoran hewan akan menjadi pupuk alami yang sangat baik untuk tanaman.

Pengertian Kepadatan


A. Kepadatan

1. Pengertian Kepadatan
Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

2. Kategori Kepadatan
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :

  1. Kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap
  2. Kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
    Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
·         Kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;
·         Kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975: Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
1.      Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah.
 3. Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi.
4. Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.

Ambient Condition dan Architectural Features

Menurut Wrighstman dan Deaux (1981) terdaat dua kualitas lingkungan yaitu..
1. Ambient Condition
Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti suara, cahaya, warna, kualitas udara, temperatur dan kelembaban.
2. Architectural Features
Seting-seting yang bersifat permanen seperti, suatu ruangan didalamnya terdapat konfigurasi dinding, lantai, atap serta pengaturan perabot dan dekorasi.
Dalam suatu gedung terdapat Architectural features meliputi lay out tiap lantai desain dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.

Sumber : http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1- pendahuluan.pdf

Metodologi Psikologi Lingkungan

A. Metodologi Penelitian dalam Psikologi Lingkungan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat 3 metode penelitian yang lazim digunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut adalah : Eksperimen Laboratorium, Studi korelasi, dan Eksperimen Lapangan.

a. Eksperimen Laboratorium

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasanya diambil. Metode ini memberi kebebasan kepada eksperimenter untuk memanipulasisecara sistematis variabel yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Dengan cara ini, maka hasil pengumpulan data adalah benar-benar variabel yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter.

b. Studi Korelasi

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi, maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode studi korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai.

Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun, maka penyimpulan dengan menggunakan studi korelasi dapat diperoleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat.

c. Eksperimen Lapangan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa faktor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode korelasi ditemukan. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan kontrol terhadap variabel, menjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seorang peneliti dapat memanipulasi temperatu di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variabel-variabel tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja dijatuhkan oleh eksperimenter.

B. Pendekatan Teori Psikologi Lingkungan

1. Teori Level Adaptasi

Teori ini pada dasarnya sama dengan teori beban lingkungan. Menurut teori ini, stimulasi level yang rendah maupun level tinggi mempunyai akibat negatif bagi suatu perilaku. Level stimulasi yang optimal adalah yang mampu mencapai perilaku yang optimal pula.

2. Teori Ekologi (Echological Theory)

Perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem menurut Hawley (dalam Helmi, 1999), yang mempunyai beberapa asumsi dasar sebagai berikut:

i. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan

ii. Interaksi timbale balik yang menguntungkan antara manusia – lingkungan


iii. Interaksi manusia – lingkungan bersifat dinamis

iv. Interaksi manusia – lingkungan terjasi dalam berbagai level dan tergantung dengan fungsi.


3. Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan

Terdapat dua pendekatan yaitu yang menyatakan bahwa lingkungan dalam kemurnian fisik (kaidah obyektifnya), dan pendekatan lainnya dalam orientasi phenomenology yang secara esensial menyatakan kesamaan dari lingkungan fisik/signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Tapi jika kedua pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi, maka kesulitan mendasar akan muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya.

Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi dorongan discrete quantifiable yang merupakan fungsi hubungan yang khas terhadap pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan untuk memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati, berpikir, belajar, dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa hal yang mendasar tentang fungsi tersebut namun tidak berarti terlalu banyak untuk dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks.

Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan (1982) mempunyai karakteristik antara lain :

1. Adaptational Focus yaitu suatu Fokus penekanan pendekatan terdapat pada proses adaptasi manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks terhadap suatu lingkungan fisik.

Tiga aspek penting dalam adaptational Focus ini adalah :

a. Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yanag menjadi perantara dari pengaruh lingkungan / setting fisik terhadap kegiatan manusia

b. Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan, pengalaman dan kegiatan manusia. Lingkungan fisik sebagai suatu setting bagi perilaku manusia , bukan hanya sebagai stimula tunggal.

c. Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model)

2. Pendekatan Psikologi Lingkungan ini adalah lebih berupa problem soving dalam pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan suatu disiplin keilmuan. Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya untuk melakukan uji coba selanjutnya dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan adalah teknik observasi partisipatif

Observasi Partisipatif

Observasi partisipatif didefinikan sebagai suatu proses dimana observer berada dalam situasi langsung dengan yang diamatinya dan dengan peran serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Observasi Partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan ‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak anata obyek yang diamati dengan subyek (pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek yang diamatinya.


Referensi :

Helmi, Avin Fadilla. 1999. Beberapa teori psikologi lingkungan. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/psikologilingkungan_avin.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.

Hadinugroho, Dwi Lindarto. Pengaruh lingkungan fisik pada perilaku : suatu tinjauan arsitektural. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1306/1/arsitektur-dwi2.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.


Anonim, Pendekatan teori dan metode penelitian psikologi lingkungan. http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf. Diakses tanggal 13 Februari 2011.