Aplikasi Psikologi : Natura Sound Theraphy

Minggu, 06 November 2011

PENGENALAN 
Sudah sejak lama, ilmuwan meneliti keberadaan hubungan antara gelombang suara dan alam bawah sadar manusia. Alunan musik dan suara dipercaya dapat memengaruhi kesehatan, kecerdasan, mentalitas, dan konsentrasi kita.
 
Terhitung sejak abad ke-9, Al-Farabi telah mengungkapkan efek terapi musik terhadap jiwa pendengarnya dalam tulisan ilmiah “Meanings of the Intellect”. Berbagai riset juga dilakukan hingga saat ini, termasuk yang melahirkan teori “efek Mozart (musik klasik)” yang bermanfaat bagi perkembangan otak bayi. 

Natura Sound Theraphy  - salah satu aplikasi psikologi untuk membantu terapi klien

Namun, orang dewasa juga memiliki kesempatan merasakan manfaat terapi musik. Selain untuk penyembuhan, terapi ini berguna sebagai alat bantu relaksasi: mengurangi stres, melelapkan tidur, dan sebagainya. Untuk menjajalnya, silakan unduh aplikasi Natura Sound Therapy.

Di dalam Natura Sound Therapy, tersimpan bermacam koleksi musik dan efek suara yang memperdengarkan nuansa alam bebas. Beberapa pilihan yang ada, misalnya debur ombak, kicauan burung, dan aliran air. Terdapat pula modul relaksasi yang berisi alunan suara seruling Amerika, piano, irama ambient, dan tabuhan tangan. 

Anda bisa memutar seluruh musik dan efek secara bersamaan atau memilih yang diinginkan saja. Volume setiap suara pun dapat Anda atur dan tentukan yang lebih dominan. Kalau malas memilihnya, pilih saja satu dari 38 judul presets kombinasi dengan efek terapi masing-masing. Ada preset untuk penyegaran otak, pelepas stres, pemicu kreativitas, maupun pengantar tidur.
Guna mempertajam manfaat dari terapi musik, Natura Sound Therapy menawarkan Brainwave Synchronizer. Feature ini diklaim mampu meningkatkan fokus mental dan menyiapkan keadaan untuk meditasi dan relaksasi. Tapi, fungsi ini baru berguna jika Anda mengenakan headphone

TUJUAN
Aplikasi Natura Sound Theraphy sendiri bertujuan untuk memudahkan terapis untuk membuat klien lebih nyaman dengan suara-suara yang lembut. Sehingga klien bisa lebih tenang dan tidak panik. 

CARA KERJA
Cara Kerja Aplikasi ini yaitu memanfaatkan gelombang otak (brainwave) Beta, Alpha, Theta, Delta. Dimana dalam alunan suara tersebut terdapat suara yang dapat mengsinkronisasi gelombang otak kita menjadi gelombang otak yang kita inginkan, sehingga mempermudah tahap pemulihan seseorang (terapi).

MANFAAT
- Mendapatkan tidur malam yang penuh.
- Digunakan sebagai menyembuhan melalui meditasi.
- Membantu kita untuk bisa lebih berkonsentrasi dalam belajar.
- Membuat rileks ketika kita mengerjakan sesuatu didepan komputer.
- Menurunkan kecemasan.
- d.l.l

Sekian artikel yang saya tulis, semoga bermanfaat bagi yang membacanya.
Sumber :
http://www.blissive.com/
http://download.cnet.com/Natura-Sound-Therapy/3000-2129_4-10068715.html
http://www.infokomputer.com/software/natura-sound-therapy

Sejarah Internet dan Komponen Konfigurasi Internet

Minggu, 02 Oktober 2011

1. Sejarah Internet

Sejarah intenet dimulai pada 1969 ketika Departemen Pertahanan Amerika, U.S.
Defense Advanced Research Projects Agency(DARPA) memutuskan untuk
mengadakan riset tentang bagaimana caranya menghubungkan sejumlah komputer
sehingga membentuk jaringan organik. Program riset ini dikenal dengan nama
ARPANET. Pada 1970, sudah lebih dari 10 komputer yang berhasil dihubungkan satu
sama lain sehingga mereka bisa saling berkomunikasi dan membentuk sebuah jaringan.
Tahun 1972, Roy Tomlinson berhasil menyempurnakan program e-mail yang ia ciptakan
setahun yang lalu untuk ARPANET. Program e-mail ini begitu mudah sehingga langsung
menjadi populer. Pada tahun yang sama, icon @juga diperkenalkan sebagai lambang
penting yang menunjukkan "at" atau "pada". Tahun 1973, jaringan komputer ARPANET
mulai dikembangkan ke luar Amerika Serikat. Komputer University College di London
merupakan komputer pertama yang ada di luar Amerika yang menjadi anggota jaringan
Arpanet. Pada tahun yang sama, dua orang ahli komputer yakni Vinton Cerf dan Bob
Kahn mempresentasikan sebuah gagasan yang lebih besar, yang menjadi cikal bakal
pemikiran internet. Ide ini dipresentasikan untuk pertama kalinya di Universitas Sussex.
Hari bersejarah berikutnya adalah tanggal 26 Maret 1976, ketika Ratu Inggris berhasil
mengirimkan e-mail dari Royal Signals and Radar Establishment di Malvern. Setahun
kemudian, sudah lebih dari 100 komputer yang bergabung di ARPANET membentuk
sebuah jaringan atau network. Pada 1979, Tom Truscott, Jim Ellis dan Steve Bellovin,
menciptakan newsgroups pertama yang diberi nama USENET. Tahun 1981 France
Telecom menciptakan gebrakan dengan meluncurkan telpon televisi pertama, dimana
orang bisa saling menelpon sambil berhubungan dengan video link.
Karena komputer yang membentuk jaringan semakin hari semakin banyak, maka
dibutuhkan sebuah protokol resmi yang diakui oleh semua jaringan. Pada tahun 1982
dibentuk Transmission Control Protocol atau TCP dan Internet Protokol atau IP yang kita
kenal semua. Sementara itu di Eropa muncul jaringan komputer tandingan yang dikenal
dengan Eunet, yang menyediakan jasa jaringan komputer di negara-negara Belanda,
Inggris, Denmark dan Swedia. Jaringan Eunet menyediakan jasa e-mail dan newsgroup
USENET.

Untuk menyeragamkan alamat di jaringan komputer yang ada, maka pada tahun 1984
diperkenalkan sistem nama domain, yang kini kita kenal dengan DNS atau Domain
Name System. Komputer yang tersambung dengan jaringan yang ada sudah melebihi
1000 komputer lebih. Pada 1987 jumlah komputer yang tersambung ke jaringan
melonjak 10 kali lipat manjadi 10.000 lebih.

Tahun 1988, Jarko Oikarinen dari Finland menemukan dan sekaligus memperkenalkan
IRC atau Internet Relay Chat. Setahun kemudian, jumlah komputer yang saling
berhubungan kembali melonjak 10 kali lipat dalam setahun. Tak kurang dari 100.000
komputer kini membentuk sebuah jaringan. Tahun 1990 adalah tahun yang paling
bersejarah, ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa
menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya, yang membentuk
jaringan itu. Program inilah yang disebut www, atau Worl Wide Web.

Tahun 1992, komputer yang saling tersambung membentuk jaringan sudah melampaui
sejuta komputer, dan di tahun yang sama muncul istilah surfing the internet. Tahun
1994, situs internet telah tumbuh menjadi 3000 alamat halaman, dan untuk pertama
kalinya virtual-shopping atau e-retail muncul di internet. Dunia langsung berubah. Di
tahun yang sama Yahoo! didirikan, yang juga sekaligus kelahiran Netscape Navigator

3. Komponen untuk mengkonfigurasi Internet

Perangkat penghubung jaringan komputer dan internet antara lain:

a. Modem
Modem berasal dari singkatan MOdulator DEModulator. Modulator merupakan bagian yang mengubah sinyal informasi kedalam sinyal pembawa (Carrier) dan siap untuk dikirimkan, sedangkan Demodulator adalah bagian yang memisahkan sinyal informasi (yang berisi data atau pesan) dari sinyal pembawa (carrier) yang diterima sehingga informasi tersebut dapat diterima dengan baik. Modem merupakan penggabungan kedua-duanya, artinya modem adalah alat komunikasi dua arah. Setiap perangkat komunikasi jarak jauh dua-arah umumnya menggunakan bagian yang disebut “modem”, seperti VSAT, Microwave Radio, dan lain sebagainya, namun umumnya istilah modem lebih dikenal sebagai Perangkat keras yang sering digunakan untuk komunikasi pada komputer.

Data dari komputer yang berbentuk sinyal digital diberikan kepada modem untuk diubah menjadi sinyal analog. Sinyal analog tersebut dapat dikirimkan melalui beberapa media telekomunikasi seperti telepon dan radio.

Setibanya di modem tujuan, sinyal analog tersebut diubah menjadi sinyal digital kembali dan dikirimkan kepada komputer. Terdapat dua jenis modem secara fisiknya, yaitu modem eksternal dan modem internal.

Modem terbagi atas:

  1. Modem analog yaitu modem yang mengubah sinyal analog menjadi sinyal digital
  2. Modem ADSL
  3. Modem kabel yaitu modem yang menerima data langsung dari penyedia layanan lewat TV Kabel
  4. Modem CDMA
  5. Modem 3GP
  6. Modem GSM

b. Router
Router adalah sebuah alat jaringan komputer yang mengirimkan paket data melalui sebuah jaringan atau Internet menuju tujuannya, melalui sebuah proses yang dikenal sebagai routing. Proses routing terjadi pada lapisan 3 (Lapisan jaringan seperti Internet Protocol) dari stack protokol tujuh-lapis OSI.

Router berfungsi sebagai penghubung antar dua atau lebih jaringan untuk meneruskan data dari satu jaringan ke jaringan lainnya. Router berbeda dengan switch. Switch merupakan penghubung beberapa alat untuk membentuk suatu Local Area Network (LAN).

c. Kartu Jaringan
Kartu jaringan(Inggris: network interface card disingkat NIC atau juga network card) adalah sebuah kartu yang berfungsi sebagai jembatan dari komputer ke sebuah jaringan komputer. Jenis NIC yang beredar, terbagi menjadi dua jenis, yakni NIC yang bersifat fisik, dan NIC yang bersifat logis. Contoh NIC yang bersifat fisik adalah NIC Ethernet, Token Ring, dan lainnya; sementara NIC yang bersifat logis adalah loopback adapter dan Dial-up Adapter. Disebut juga sebagai Network Adapter. Setiap jenis NIC diberi nomor alamat yang disebut sebagai MAC address, yang dapat bersifat statis atau dapat diubah oleh pengguna.

d. Bridge Jaringan
Bridge Jaringan adalah sebuah komponen jaringan yang digunakan untuk memperluas jaringan atau membuat sebuah segmen jaringan. Bridge jaringan beroperasi di dalam lapisan data-link pada model OSI. Bridge juga dapat digunakan untuk menggabungkan dua buah media jaringan yang berbeda, seperti halnya antara media kabel Unshielded Twisted-Pair (UTP) dengan kabel serat optik atau dua buah arsitektur jaringan yang berbeda, seperti halnya antara Token Ring dan Ethernet. Bridge akan membuat sinyal yang ditransmisikan oleh pengirim tapi tidak melakukan konversi terhadap protokol, sehingga agar dua segmen jaringan yang dikoneksikan ke bridge tersebut harus terdapat protokol jaringan yang sama (seperti halnya TCP/IP). Bridge jaringan juga kadang-kadang mendukung protokol Simple Network Management Protocol (SNMP), dan beberapa di antaranya memiliki fitur diagnosis lainnya. Terdapat tiga jenis bridge jaringan yang umum dijumpai:

Bridge Lokal: sebuah bridge yang dapat menghubungkan segmen-segmen jaringan lokal.
Bridge Remote: dapat digunakan untuk membuat sebuah sambungan (link) antara LAN untuk membuat sebuah Wide Area Network.

Bridge Nirkabel: sebuah bridge yang dapat menggabungkan jaringan LAN berkabel dan jaringan LAN nirkabel.

Stres

Selasa, 12 April 2011


Seringkali stres didefinisikan dengan hanya melihat dari stimulus atau respon yang dialami seseorang. Definisi stres dari stimulus terfokus pada kejadian di lingkungan seperti misalnya bencana alam, kondisi berbahaya, penyakit, atau berhenti dari kerja. Definisi ini menyangkut asumsi bahwa situasi demikian memang sangat menekan tapi tidak memperhatikan perbedaan individual dalam mengevaluasi kejadian. Sedangkan definisi stres dari respon mengacu pada keadaan stres, reaksi seseorang terhadap stres, atau berada dalam keadaan di bawah stres (Lazarus & Folkman, 1984).
Definisi stres dengan hanya melihat dari stimulus yang dialami seseorang, memiliki keterbatasan karena tidak memperhatikan adanya perbedaan individual yang mempengaruhi asumsi mengenai stresor. Sedangkan jika stres didefinisikan dari respon, maka tidak ada cara yang sistematis untuk mengenali mana yang akan jadi stresor dan mana yang tidak. Untuk mengenalinya, perlu dilihat terlebih dahulu reaksi yang terjadi. Selain itu, banyak respon dapat mengindikasikan stres psikologis yang padahal sebenarnya bukan merupakan stres psikologis. Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa respon tidak dapat secara reliabel dinilai sebagai reaksi stres psikologis tanpa adanya referensi dari stimulus (Lazarus & Folkman, 1984).
Singkatnya, semua pendekatan stimulus-respon mengacu pada pertanyaan krusial mengenai stimulus yang menghasilkan respon stres tertentu dan respon yang mengindikasikan stresor tertentu. Yang mendefinisikan stres adalah hubungan stimulus-respon yang diobservasi, bukan stimulus atau respon. Stimulus merupakan suatu stresor bila stimulus tersebut menghasilkan respon yang penuh tekanan, dan respon dikatakan penuh tekanan bila respon tersebut dihasilkan oleh tuntutan, deraan, ancaman atau beban. Oleh karena itu, stres merupakan hubungan antara individu dengan lingkungan yang oleh individu dinilai membebani atau melebihi kekuatannya dan mengancam kesehatannya (Lazarus & Folkman, 1984).
 
Proses Pengalaman Stres
Stres merupakan persepsi yang dinilai seseorang dari sebuah situasi atau peristiwa. Sebuah situasi yang sama dapat dinilai positif, netral atau negatif oleh orang yang berbeda. Penilaian ini bersifat subjektif pada setiap orang. Oleh karena itu, seseorang dapat merasa lebih stres daripada yang lainnya walaupun mengalami kejadian yang sama. Selain itu, semakin banyak kejadian yang dinilai sebagai stresoroleh seseorang, maka semakin besar kemungkinan seseorang mengalami stres yang lebih berat.
Perbedaan tingkat perkembangan antara anak-anak dengan orang dewasa tidak membuat perbedaan besar dalam hal pembentukan persepsi manusia. Teori appraisal dari Lazarus sudah diaplikasikan dalam penelitian terhadap anak. Salah satu penelitian yang dimaksud adalah penelitian oleh Johnson dan Bradlyn (dalam Wolchik & Sandler, 1997), yang ditujukan untuk meneliti appraisal positif dan negatif terhadap suatu peristiwa serta seberapa besar pengaruh peristiwa tersebut terhadap seorang anak.
Menurut Lazarus (1991) dalam melakukan penilaian tersebut ada dua tahap yang harus dilalui, yaitu :
1. Primary appraisal
Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu peristiwa yang dialami individu. Peristiwa tersebut dapat dipersepsikan positif, netral, atau negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari kemungkinan adanya harm, threat, atau challenge. Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang didapat dari peristiwa yang terjadi. Challenge merupakan tantangan akan kesanggupan untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi (Lazarus dalam Taylor, 1991). Pentingnya primary appraisal digambarkan dalam suatu studi klasik mengenai stres oleh Speisman, Lazarus, Mordkoff, dan Davidson (dalam Taylor, 1991). Studi ini menunjukkan bahwa stres bergantung pada bagaimana seseorang menilai suatu peristiwa.
Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
  1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki seseorang, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan personalnya.
  2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.
  3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen seseorang.
2. Secondary appraisal
Secondary appraisal merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi.
Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:
  1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.
  2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya.
  3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau buruk.
Pengalaman subjektif akan stres merupakan keseimbangan antara primary dan secondary appraisal. Ketika harm dan threat yang ada cukup besar, sedangkan kemampuan untuk melakukan coping tidak memadai, stres yang besar akan dirasakan oleh individu. Sebaliknya, ketika kemampuan coping besar, stres dapat diminimalkan.
 
Respon Stres
Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
  1.  
    1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
    2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
    3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
    4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.
 
COPING STRES
Proses Coping Stres
Stres yang muncul pada anak akan membuat anak melakukan suatu coping (Mu’tadin, 2002). Coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Coping yang dilakukan ini berbeda dengan perilaku adaptif otomatis, karena coping membutuhkan suatu usaha, yang mana hal tersebut akan menjadi perilaku otomatis lewat proses belajar. Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai. Maka, coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Lazarus & Folkman, 1984).
Menurut Lazarus & Folkman (1984), dalam melakukan coping, ada dua strategi yang dibedakan menjadi :
1. Problem-focused coping
Problem-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.
2. Emotion-focused coping.
Emotion-focused coping, yaitu usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan.
Individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol (Lazarus & Folkman, 1984). Terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu (Taylor, 1991). Para peneliti menemukan bahwa penggunaan strategi emotion focused coping oleh anak-anak secara umum meningkat seiring bertambahnya usia mereka (Band & Weisz, Compas et al., dalam Wolchik & Sandler, 1997).
Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. (dalam Taylor, 1991) mengenai kemungkinan variasi dari kedua strategi terdahulu, yaitu problem-focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya delapan strategi coping yang muncul, yaitu :
Problem-focused coping
  1.  
    1. Confrontative coping; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.
    2. Seeking social support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
    3. Planful problem solving; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.
Emotion focused coping
  1.  
    1. Self-control; usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.
    2. Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.
    3. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
    4. Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.
    5. Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.
Coping Outcome
Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan, coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, Cohen dan Lazarus (dalam Taylor, 1991) mengemukakan, agar coping dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :
  1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya
  2. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif.
  3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.
  4. Mempertahankan keseimbangan emosional.
  5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.
Menurut Taylor (1991), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik. Setelah coping dapat memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome adalah kriteria hasil coping untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu :
  1. Ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
  2. Apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia mengalami stres, dan seberapa cepat ia dapat kembali. Coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa individu kembali pada keadaan seperti sebelum individu mengalami stres.
  3. Efektivitas dalam mengurangi psychological distress. Coping dinyatakan berhasil jika coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.

P r i v a s i

Selasa, 05 April 2011

A. Pengertian Privasi 
Kerahasiaan pribadi (Bahasa Inggris: privacy) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal publik. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.
Hak pelanggaran privasi oleh pemerintah, perusahaan, atau individual menjadi bagian di dalam hukum di banyak negara, dan kadang, konstitusi atau hukum privasi. Hampir semua negara memiliki hukum yang, dengan berbagai cara, membatasi privasi, sebagai contoh, aturan pajak umumnya mengharuskan pemberian informasi mengenai pendapatan. Pada beberapa negara, privasi individu dapat bertentangan dengan aturan kebebasan berbicara, dan beberapa aturan hukum mengharuskan pemaparan informasi publik yang dapat dianggap pribadi di negara atau budaya lain.
Privasi dapat secara sukarela dikorbankan, umumnya demi keuntungan tertentu, dengan risiko hanya menghasilkan sedikit keuntungan dan dapat disertai bahaya tertentu atau bahkan kerugian. Contohnya adalah pengorbanan privasi untuk mengikut suatu undian atau kompetisi; seseorang memberikan detil personalnya (sering untuk kepentingan periklanan) untuk mendapatkan kesempatan memenangkan suatu hadiah. Contoh lainnya adalah jika informasi yang secara sukarela diberikan tersebut dicuri atau disalahgunakan seperti pada pencurian identitas.
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986).
Lang (1987) berpendapat bahwa tingkat dari privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian dan aspirasi dari keterlibatan individu. Rapoport (dalam Soesilo, 1988) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan.
Altman (1975), mendefinisikan privasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Menurutnya privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Altman (1975) menjabarkan beberapa fungsi privasi. Pertama, privasi adalah pengatur dan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Kedua, privasi berfungsi untuk merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang meliputi keintiman, atau jarak dalam berhubungan dengan orang lian. Fungsi privasi yang ketiga adalah memperjelas diri sendiri.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Privasi 
Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi, yaitu :
1. Faktor Personal, Marshall (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam suasan rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonim dan reserve saat ia dewasa. Sedangkan orang menghabiskan sebagian besa waktunya di kota akan lebih memilih keadaan anonim dan intimacy.
2. Faktor Situasional, Beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sengat berhubungan dengan sebagian besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987).
3. Faktor Budaya, Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali)memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam benyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987).

             C. Pengaruh Privasi terhadap Perilaku
Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan sekitar. Bila seseorang dapat mendapatkan privasi seperti yang diinginkannya maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri.
            Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan.
            Westin (dalam Holahan, 1982) mengatakan bahwa ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan membantu individu untuk menjaga jarak psikologis yang pas dengan orang lain dalam banyak situasi.
 
Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur,Pikologi dan masyarakat. Depok: Gunadarma

Teritorialitas

Selasa, 29 Maret 2011

Pengertian Teritorialitas
Holahan (dalam Iskandar, 1990, mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu teritorial primer.
Elemen-elemen Teritorialitas
Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari teritorialitas, yaitu :
  •  kepemilikan atau hak dari suatu tempat
  • personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
  • hak untuk mempertahankan diri dari ganggun luar
  • pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika
Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasikan 3 kumpulan tingkat spesial yang saling terkait satu sama lain :
  •  personal space
  • home base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif
  • home range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang 

Altman membagi teritorialitas menjadi tiga, yaitu :
Teritorial primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusu bagipemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori utama ini akan mengakibatkan timbulnya perlawanan dari pemiliknya dan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah yang serius terhadapaspek psikologis pemiliknya.
Teritori sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Teritorial ini dapat digunakanoleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu.
Teritorial umum
Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Tritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.

Teritorialitas dan Perbedaan Budaya
Teritorialitas pada setiap negara berbeda-beda tergantung dari budaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Jenis kelamin juga mempengaruhi teritorialitas seeorang, dimana wanita memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan pria. Lalu penduduk desa lebih tinggi toleransinya dalam menentukan teritorialitasnya dibandingkan dengan penduduk yang tinggal diperkotaan.

Pembentukan kawasan teritorial adalah mekanisme perilaku untuk mencapai privasi tertentu. Dalam hal ini teritorialitas memperlihatkan dengan jelas dan nyata batas-batasan antar diri dengan orang lain, dengan tempat yang relatif tetap. Teritori artinya wilayah atau daerah, dan teritorialitas (territoriality) adalah batasan tampak atas wilayah yang dimiliki oleh individu atau wilayah yang dianggap sudah menjadi hak seseorang.
Teritorialitas juga dapat disebut sebagai suatu pola tingkah laku yag ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Pada manusia, teritorialitas ini tidak hanya berfungsi sebagai perwujudan privasi saja, tetapi juga mempunyai fungsi sosial dan komunikasi.
Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan seseorang atau kelompok atas suatu tempat atau lokasi. Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Degan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial primer. Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorialitas, yaitu :

1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari ganggunan luar
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasra psikologis

sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika
Menurut Altman (1975), territorial bukan hanya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi pula sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan social. Altman juga membagi territorialitas menjadi tiga, yaitu :

1. Territorial Primer
Jenis tritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori uatam ini akan mengakibatkantimbulnya perlawanan dari pemiliknya karena menyangkut masalah serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya.

2. Territorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Territorial ini juga dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritori sekunder adalah semi-publik.

3. Territorial Umum
Territorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.
Bentuk pelanggaran teritori dapat diindikasikan adalah sebagai suatu invasi ruang. Secara fisik seseorang memasuki teritori orang lain biasanya dengan maksud mengambil kendali atas teritori tersebut.
Bentuk lainnya adalah kekerasan, sebagai sebuah bentuk pelanggaran yang bersifat temporer atas teritori orang lain, biasanya hal ini bukan untuk menguasai teritori orang lain melainkan suatu bentuk gangguan.
Bentuk selanjutnya adalah kontaminasi, yaitu seseorang mengganggu teritori orang lain dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan atau merusaknya.
Pertahanan yang dapat dilakukan untuk mencegah pelanggaran teritori antara lain:
• Pencegahan seperti memberi lapisan pelindung, memberi rambu-rambu atau pagar batas sebagai antisipasi terhadap bentuk pelanggaran.
• Reaksi sebagai respon terhadap terjadinya pelanggaran, seperti contohnya menegur.

Sumber : http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
http://kencurz-by.blogspot.com/2010/04/teritorialitas.html
Arsitektur dan Perilaku Manusia, karya Joyce Marcella Laurens
Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.

Personal Space

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak social antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu yang lain.
Menurut Sommer (dalam Altman, 1975), Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975), menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasrkan hasil – hasil penelitian, antara lain :
Menurut Edward T. Hall (dalam Altman, 1975), seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat empat zona spasial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak publik.

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_pelanggaran_harapan

Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Selanjutnya dikatakan bahwa studi personal space merupakan tinjauan terhadap perilaku hewan dengan cara mengamati perilaku mereka berkelahi, terbang, dan jarak social antara yang satu dengan yang lain. Kajian ini kemudian ditransformasikan dengan cara membentuk pembatas serta dapat pula diumpamakan semacam gelembung yang mengelilingi individu dengan individu yang lain.
Menurut Sommer (dalam Altman, 1975), Ruang personal adalah daerah disekeliling seseorang dengan batas – batas yang tidak jelas dimana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975), menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia akan merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang – kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implicit berdasrkan hasil – hasil penelitian, antara lain :
Menurut Edward T. Hall (dalam Altman, 1975), seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat empat zona spasial yang meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak publik.

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Sumber :

Mengenai Kesesakan (Crowding)

Selasa, 08 Maret 2011

Crowding (Kesesakan)

BAB I

1. PENGERTIAN KESESAKAN
Kesesakan merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara didunia dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumbar daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.
Kesesakan timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dibanyak negara(mis: Indonesia, Cina, India dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam perspektif Psikologis dari kesesakan adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destrukif.

2. PENYEBAB PENDUDUK DUNIA MAKIN PADAT
Masalah kepadatan penduduk disebabkan akibat menurunnya tingkat kematian dengan tanpa disertai menurunnya tingkat kesuburan. Umumnya dinegara-negara berkembang sudah mampu menurunkan tingkat kesuburan, sedangkan dinegara-negara yang sedang berkembang belum mampu menurunkan tingkat kematian dan kesuburan.
Ada alasan-alasan tertentu mengapa tingkat pertambahan penduduk di negara yang sedang berkembang itu tetap tinggi. Beberapa pendapat yang diperkuat oleh hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat pertambahan penduduk yang tinggi tersebut antara lain disebabkan oleh :
1. Kesuburan yang tinggi merupakan jawaban terhadap kematian yang tinggi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga bangsa dan agama.
2. Dinegara-negara yang sedang berkembang , anak adalah kekayaan orang tua karena merupakan jaminan sosial, ekonomi, dan emosi dihari tua.
3. Dinegara berkembang, perkawainan pada usia remaja sering dilakukan, terutama di desa-desa.
4. Para orang tua dan mertua selalu mengharapkan perkawinan anaknya segera dikaruniani anak.
5. Menurut Masri Singarimbun(1977), para orang tua di Sunda dan Jawa, baik di desa maupun dikota mempunyai konsep yang sama tentang besarnya keluarga ideal. Keluarga ideal tersebut terdiri dari suami, istri, dan 4 orang anak.

3. Teori Kesesakan
Kepadatan memang mengakibatkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Ada 3 konsep yang menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, teori ecological model (Stocols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain;1987). Ketiga konsep tersebut menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Semakin padat suatu kawasan semakin banyak informasi yang melintas dihadapan penghuni adalah dinamika yang tidak terhindarkan, bila informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya , maka timbulah maslah psikologis.
Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu. Konsep ini berkaitan dengan konsep ekologi. Ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi maka lingkungan alam dan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah( Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif( Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa; 2)munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3)munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka; 4)menurunya prestasi kerja.








--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jika konsep kepadatan didefinisikan sebagai luas wilayah dibagi jumlah orang atau barang yang ada di dalamnya, maka jelas terlihat betapa kota jauh lebih padat dibanding dengan desa. Sebagai tempat berpijak dan bekerja, kota memiliki luas wilayah yang relatif tetap, bahkan berkurang. Artinya, tanah-tanah yang awalnya adalah pemukiman penduduk sekarang telah beralih fungsi menjadi pusat perkantoran dan perdagangan. Kecenderungan ruang yang semakin menyusut yang disertai dengan jumlah pertumbuhan manusia yang semakin banyak ini membuat kota tidak sepenuhnya mampu menyediakan tempat tinggal yang layak bagi para penghuninya.
Berdasarkan hitungan di atas kertas, Indonesia dalam waktu dua puluh lima tahun mendatang membutuhkan sekitar satu juta hektar luas lahan untuk menampung pertumbuhan penduduk kota yang semakin tak terkendali. Ini belum termasuk kebutuhan lahan untuk pengembangan kawasan perkotaan non-pemukiman seperti kawasan perkantoran dan pariwisata. Artinya, pada dekade pertama milenium ketiga (2000-2010), setiap tahun Indonesia harus menyiapkan daerah perkotaan baru rata-rata seluas sekitar lima puluh ribu hektar demi menampung tiga setengah juta penduduk baru (Santoso, 2006: 48). Hal ini mustahil, jika dilihat dari kondisi ruang perkotaan yang semakin mengkerut dan strategi pengembangan kota-kota di Indonesia sekarang ini yang semata-mata diserahkan kepada mekanisme pasar.
Perbandingan yang tidak seimbang antara ketersediaan ruang perkotaan dengan jumlah penghuninya yang semakin membludak secara sosial berdampak pada munculnya fenomena kepadatan (density), dan secara subjektif akan menimbulkan fenomena kesesakan (crowding). Keduanya merupakan ancaman serius yang dapat menggerogoti kesejahteraan hidup warga perkotaan.
Kesesakan adalah persepsi subjektif individu terhadap keterbatasan atau kepadatan ruang yang dinaunginya, atau perasaan subjektif karena terlalu banyak orang di sekelingnya (Gilford, 1987: 23). Kesesakan selalu bervalensi negatif karena dapat memicu perasaan tidak nyaman dan tidak menyenangkan bagi individu. Jika kesesakan berlangsung dalam waktu yang lama, dan individu mempersepsinya sebagai kondisi yang tak terhindarkan, maka kesejahteraan subjektif individu(subjective well-being) akan terancam—bahkan merosot tajam—sehingga muncul gangguan-gangguan psikologis seperti stres atau depresi.

Mekanisme adaptasi
Respon terhadap kesesakan selalu bersifat subjketif. Individu dituntut untuk tetap survive di tengah kondisi kehidupan perkotaan yang semakin berat. Untuk tetap mempertahankan subjective well-being-nya, individu akan menempuh langkah-langkah adaptasi sesuai dengan sumber daya lingkungan yang dimilikinya.
Adaptasi merupakan kapasitas individu untuk dapat mengontrol kembali kondisi lingkungan yang mengancam kenyamanan dirinya dan kemampun mempersiapkan diri untuk mengantisipasi kejadian-kejadian tak terduga di masa yang akan datang. Adaptasi terhadap kepadatan sosial merupakan langkah subjektif untuk menekan stimulus lingkungan yang bersifat mengganggu.
Dalam kajian psikologi lingkungan (environmental psychology), dikenal dua model adaptasi terkait dengan kepadatan sosial.
Pertama, pendekatan teritorialitas. Pendekatan ini berorientasi pada pembentukan kawasan geografis untuk mencapai tingkat privasi optimal. Usaha yang lazim digunakan adalah dengan menyusun ulang setting lingkungan atau pindah ke lokasi lain. Penyusunan setting lingkungan biasanya dilakukan dengan membuat tanda teritori seperti pagar, sungai buatan, atau taman. Keterbatasan pendekatan ini adalah bersifat statis—tidak ekspansif—karena berbasis pada struktur ruang yang definitif. Selain itu, pendekatan ini hanya berlaku dalam iklim sosial yang penuh kompetisi, yang konsekuensinya dapat menimbulkan prasangka dan jarak sosial (social gape).
Kedua, pendekatan ketrampilan diri. Pertama-tama individu mempersepsi kesesakan sebagai ketidaknyamanan yang muncul dari kehadiran orang lain dalam jumlah yang tidak dapat dikontrol sehingga membatasi kebebasan individu. Dengan begitu, yang paling penting dari pendekatan ini adalah resetting struktur kognitif agar lahir persepsi baru yang lebih positif terhadap kehadiran orang lain dan lingkungan. Berbeda dengan pendekatan teritorialitas yang melihat kehadiran orang lain sebagai ancaman, pendekatan ketrampilan diri menekankan evaluasi positif atas orang lain (Fisher & Bell, 1984: 87). Keterbatasan dari model adapatasi ini adalah semata-mata bertumpu pada individu. Padahal, lingkungan perkotaan sangat menentukan bagaimana persepsi individu itu terbentuk. Lingkungan perkotaan yang nyaman dan aman tentunya akan lebih mampu membuat individu mempersepsi orang lain secara lebih positif daripada lingkungan perkotaan yang penuh tindak kriminal.

Strategi pengembangan kota
Parameter umum yang dapat dijadikan acuan apakah sebuah kota itu nyaman dihuni atau tidak terletak pada sejauh mana derajad kepublikan dan daya dukung sebuah kota bagi aktivitas warganya. Semakin kota memiliki derajad kepublikan yang tinggi dan mampu menyediakan kenyamanan bagi aktivitas warganya, maka kota tersebut dapat dikatakan sebagai kota yang sehat. Sebaliknya, jika sebuah kota itu bersifat mengisolasi dan menghambat aktivitas warganya sehingga tidak nyaman untuk dihuni, maka kota tersebut adalah kota yang sakit (the sick city).
Kota yang sehat adalah tempat bermukim yang nyaman dan memilliki konsep pengembangan kota yang berkelanjutan. Setidaknya, sebuh kota yang sehat memiliki visi pembangunan yang bertumpu pada pencapaian-pencapaian sebagai berikut:
Pertama, memiliki standar kenyamanan (standard of livability) yang tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tingkat kenyamanan dan kesejahteraan warganya dengan kenyamanan dan kesejahteraan warga kota lain.
Kedua, memiliki manajemen perkotaan yang mampu menjaga keutuhan kawasan per kawasan. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan setiap kawasan sebagai langkah awal untuk menjaga keutuhan lingkungan perkotaan secara keseluruhan, dan untuk mengembangkan kawasan baru dalam rangka mengembangkan fungsi-fungsi perkotaan yang baru.
Ketiga, memiliki institusi khusus yang dapat memobilisasi sumber-sumber pendanaan pembangunan pemukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan sampai batas tertentu terlepas dari mekanisme pasar (Santoso, 2006:103).
Disamping ketiga hal di atas, dan tak kalah pentingnya, adalah terkait dengan komposisi penggunaan lahan perkotaan. Sebuah kota yang sehat juga harus menyediakan kurang lebih tiga puluh persen luas lahannya untuk area hijau. Area ini berfungsi sebagai paru-paru kota, yang akan menjaga kebersihan udara perkotaan dari dampak buruk gas buang kendaraan bermotor yang semakin tinggi.


Sumber: Afif, Afthonul. 2008. Kesesakan. http://psikotikafif.wordpress.com/2008/06/25/59/. Diakses tanggal 26 Februari 2011.
Sumber : http://docs.google.com

Akibat Kepadatan Tinggi


Akibat dari kepadatan yang tinggi menurut Hamistra dan Mc. Farling yaitu :
1. Fisik, seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah yang meningkat, dan lain sebagainya.
2. Akibat social, menyebabkan kenakalan dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Manusiapun menampakan tingkah laku yang menyerupai behavioral sink sebagai akibat dari kepadatan dan kesesakan. Holahan mencatat beberapa gejala sebagai berikut :
a. Dampak pada penyakit dan patologi social
1. Reaksi fisiologik, misalya meningkatkan tekanan darah.
2. Penyakit fisik, seperti psikosomatik dan meningkatnya angka kematian.
3.Patologi social, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan tingkat kenakalan pada remaja.

b.Dampak pada tingkah laku social
1. Agresi
2. Menarik diri dari lingkungan social
3. Berkurangnya tingkah laku menolong
4. Cenderung lebih banyak melihat sisi buruk dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lainitu jika berada dalam tempat yang padat dan sesak.
c. Dampak pada hasil usaha dan suasana hati
1. Hasil usaha dan prestasi kerja menurun
2. Suasana hati cenderung lebih murung.
Jumlah manusia yang makin meningkat memiliki dampak dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan.
1. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Bidang Ekonomi
Dampak kepadatan penduduk terhadap ekonomi adalah pendapatan per kapita berkurang sehingga daya beli masyarakat menurun. Hal ini juga menyebabkan kemampuan menabung masyarakat menurun sehingga dana untuk pembangunan negara berkurang. Ak ibatnya, lapangan kerja menjadi berkurang dan pengangguran makin meningkat.
2. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Bidang Sosial
Jika lapangan pekerjaan berkurang, maka pengangguran akan men ingkat. Hal ini akan meningkatkan kejahatan. Selain itu, terjadinya urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang layak makin meningkatkan penduduk kota. Hal ini berdampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat.
3. Pengaruh Kepadatan Penduduk terhadap Lingkungan
Jumlah penduduk yang makin meningkat menyebabkan kebutuhannya makin meningkat pula. Hal ini berdampak negatif pada lingkungan, yaitu:
1) Makin berkurangnya lahan produktif, seperti sawah dan perkebunan karena lahan tersebut dipakai untuk pemukiman.
2) Makin berkurangnya ketersediaan air bersih. Manusia membutuhkan air bersih untuk keperluan hidupnya. Pertambahan penduduk akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan air bersih. Hal ini menyebabkan persediaan air bersih menurun.
3) Pertambahan penduduk juga menyebabkan arus mobilitas meningkat. Akibatnya, kebutuhan alat tranportasi meningkat dan kebutuhan energi seperti minyak bumi meningkat pula. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran udara dan membuat persediaan minyak bumi makin menipis.
4) Pertambahan penduduk juga menyebabkan makin meningkatnya limbah rumah tangga, seperti sampah dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
C. Pencemaran Lingkungan
Pencemaran atau polusi adalah penambahan segala substansi ke lingkungan akibat aktivitas manusia. Sedangkan, polutan adalah segala sesuatu yang menyebabkan polusi. Semua zat dikategorikan sebagai polutan bila kadarnya melebihi batas normal, berada di tempat yang tidak semestinya, dan berada pada waktu yang tidak tepat.
Pencemaran atau polusi tidak dapat dihindari, yang dapat dilakukan adalah mengurangi, mengendalikan pencemaran, dan meningkatkan kesadaran serta kepedulian masyarakat kepada lingkungannya.
  1. Pencemaran Air
Penyebab pencemaran air adalah limbah pabrik atau limbah rumah tangga. Bahan pencemar berupa bahan kimia yang mengandung racun, mudah mengendap, mengandung radioaktif, panas, dan pembongkarannya banyak memerlukan oksigen. Polutan yang menyebabkan pencemaran air harus diuraikan. Penguraian polutan tersebut memerlukan banyak O  sehingga menyebabkan kekurangan O
dalam air yang berpengaruh terhadap kehidupan di air. Banyak ikan yang mati karena kekurangan oksigen. Pencemaran air menyebabkan air berwarna hitam, kotor, dan berbau busuk. Pencemaran nitrogen dalam perairan menyebabkan eutrofikasi, yaitu ledakan pertumbuhan tumbuhan air, seperti eceng gondok.  Air ya ng tercemar dapat dikurangi kadar pencemarannya dengan cara menyaring, mengencerkan, dan mengendapkan. Pabrik-pabrik diwajibkan menampung dan mengolah limbah, WC pada setiap rumah tangga perlu dilengkapi dengan septic tank.
  1. Pencemaran Tanah
Bahan pencemar tanah berasal dari limbah pabrik, limbah rumah tangga, dan barang-barang rongsokan. Bahan pencemar yang sukar dihancurkan oleh mikroba adalah plastik, stiroform, kaca, dan lain-lain. Untuk mengurangi pencemaran ini banyak hal yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendaur ulang bahan-bahan tersebut.
  1. Pencemaran Udara
Bahan pencemar udara umumnya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna oleh mesin-mesin pabrik, pembangkit listrik, kendaraan bermotor, dan lain-lain. Dari pembakaran tersebut akan dihasilkan gas dan asap yang sangat membahayakan. Bahan-bahan yang dapat mencemari udara adalah oksida karbon (CO2 dan CO), oksida belerang (SO dan SO), senyawa hidrokarbon (CH4 dan C2), partikel cair (asam sulfat, asam nitrat), dan lain-lain.
Pencemaran udara dapat mengakibatkan beberapa hal, antara lain:
a. Jika kadar CO tinggi, gas tersebut akan membentuk lapisan tersendiri di atmosfer, lapisan ini menyerap sinar matahari yang harusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa. Hal ini menyebabkan suhu di bumi meningkat, sehingga es di kutub mencair dan permukaan air laut naik. Akibatnya daratan bisa tenggelam. Peristiwa ini disebut efek rumah kaca.
b. Gas CO merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna. Gas CO mempunyai daya ikat lebih tinggi terhadap hemoglobin dibandingkan gas O2  sehingga ikatan Hb dengan CO lebih stabil. Jika banyak hemoglobin  yang berikatan dengan gas CO akan menyebabkan tubuh kita kekurangan O2
Akibatnya, badanmu menjadi lemas.
c. Oksida belerang dan oksida nitrogen jika bereaksi dengan air akan membentuk senyawa sulfat dan nitrat yang bersifat asam. Zat asam tersebut jika turun bersama hujan akan menyebabkan hujan asam dan dapat merusak tumbuhan, mikroorganisme tanah serta kehidupan hewan air tawar.
d. Gas  CFC yang digunakan sebagai pendingin (AC, lemari es, dan dispenser) atau gas penyemprot akan merusak ozon sehingga meningkatkan radiasi sinar ultraviolet ke muka bumi dan dapat menyebabkan timbulnya kanker kulit.
4. Pencemaran Suara
Pencemaran suara disebabkan oleh suara bising yang terus menerus.  Suara tersebut dapat ditimbulkan oleh mesin instalasi listrik pabrik, pesawat terbang, kereta api, dan lain-lain. Akibat pencemaran tersebut dapat menimbulkan gangguan pendengaran, tekanan darah, jantung, dan lain-lain.
D. Penyebab Pencemaran Lingkungan
Kepadatan manusia berdampak pada pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia.
  1. Faktor Alam
Pencemaran lingkungan dapat terjadi secara alami, contohnya letusan gunung, gempa bumi, perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan angin topan. Biasanya manusia hanya dapat memperkirakan dan mengurangi dampaknya.
  1. Faktor Manusia
Manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya alam dari lingkungannya. Jika populasi manusia makin banyak, maka makin banyak sumber daya alam yang diambil dari lingkungannya. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran.
Ada beberapa  perilaku manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia secara global, antara lain: 1) Penebangan hutan hujan tropik di Indonesia dapat berpengaruh 180 pada perubahan iklim global karena hutan merupakan paru-paru dunia.
2) Uji coba senjata nuklir berpengaruh pada perubahan iklim global. hasil pembakaran dapat menimbulkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca dapat menyebabkan es mencair sehingga permukaan air laut meningkat dan dapat menenggelamkan daratan.
3) CO2
E. Peranan Manusia Mengatasi Pencemaran Lingkungan
Manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang terjadi akibat ulah manusia sendiri. Beberapa hal yang dapat dilakukan manusia untuk mengatasi pencemaran lingkungan akan diuraikan berikut ini:
  1. Melakukan Penghijauan Salah satu cara mengatasi pencemaran tanah adalah penghijauan kembali dengan cara memberi humus tanah, sehingga tanaman kembali subur.
  2. Rotasi Tanaman Rotasi tanaman adalah  salah satu upaya yang dilakukan untuk  mempertahankan kesuburan tanah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanam jenis tanaman yang berbeda pada tempat yang sama secara bergantian.
  3. Penggunaan Pupuk Seperlunya
Penggunaan pu puk buatan seperti urea, ZA, dan NSP yang berlebihan sangat merusak lingkungan karena dapat menyebabkan eutrofikasi dan dapat meningkatkan keasaman tanah.
Sebaiknya, petani menggunakan pupuk alami, seperti pupuk kompos dan pupuk kandang untuk mengurangi pencemaran tanah.
  1. Pembuatan Sengkedan
Salah satu upaya untuk mengatasi kerusakan tanah karena erosi adalah dengan pembuatan sengkedan di tanah berbidang miring, seperti lereng bukit dan pegunungan. Mengapa sengkedan ini dapat mengurangi erosi? Diskusikan dengan teman sekelompokmu.
  1. Reboisasi
Reboisasi adalah  p enanaman kembali lahan-lahan yang gundul. Hal ini dilakukan untuk mengatasi erosi karena akar-akar pohon dapat menyerap air dan menahan tanah agar tidak terbawa air hujan.
  1. Daur Ulang
Saat ini banyak sekali produk daur ulang yang bisa dipakai kembali.
Pendaur-ulangan sampah-sampah rumah tangga dan sampah dari pasar menjadi pupuk yang dapat dimanfaatkan petani. Biasanya sampah pasar berupa sayur-sayuran yang telah membusuk. Jika diolah kembali dan ditambah kotoran hewan akan menjadi pupuk alami yang sangat baik untuk tanaman.

Pengertian Kepadatan


A. Kepadatan

1. Pengertian Kepadatan
Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

2. Kategori Kepadatan
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :

  1. Kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap
  2. Kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
    Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
·         Kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;
·         Kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975: Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:
1.      Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah.
 3. Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi.
4. Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.