Mengenai Kesesakan (Crowding)

Selasa, 08 Maret 2011

Crowding (Kesesakan)

BAB I

1. PENGERTIAN KESESAKAN
Kesesakan merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara didunia dimasa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumbar daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.
Kesesakan timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial dibanyak negara(mis: Indonesia, Cina, India dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikologis. Dalam perspektif Psikologis dari kesesakan adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destrukif.

2. PENYEBAB PENDUDUK DUNIA MAKIN PADAT
Masalah kepadatan penduduk disebabkan akibat menurunnya tingkat kematian dengan tanpa disertai menurunnya tingkat kesuburan. Umumnya dinegara-negara berkembang sudah mampu menurunkan tingkat kesuburan, sedangkan dinegara-negara yang sedang berkembang belum mampu menurunkan tingkat kematian dan kesuburan.
Ada alasan-alasan tertentu mengapa tingkat pertambahan penduduk di negara yang sedang berkembang itu tetap tinggi. Beberapa pendapat yang diperkuat oleh hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat pertambahan penduduk yang tinggi tersebut antara lain disebabkan oleh :
1. Kesuburan yang tinggi merupakan jawaban terhadap kematian yang tinggi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga bangsa dan agama.
2. Dinegara-negara yang sedang berkembang , anak adalah kekayaan orang tua karena merupakan jaminan sosial, ekonomi, dan emosi dihari tua.
3. Dinegara berkembang, perkawainan pada usia remaja sering dilakukan, terutama di desa-desa.
4. Para orang tua dan mertua selalu mengharapkan perkawinan anaknya segera dikaruniani anak.
5. Menurut Masri Singarimbun(1977), para orang tua di Sunda dan Jawa, baik di desa maupun dikota mempunyai konsep yang sama tentang besarnya keluarga ideal. Keluarga ideal tersebut terdiri dari suami, istri, dan 4 orang anak.

3. Teori Kesesakan
Kepadatan memang mengakibatkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Ada 3 konsep yang menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, teori ecological model (Stocols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain;1987). Ketiga konsep tersebut menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan. Semakin padat suatu kawasan semakin banyak informasi yang melintas dihadapan penghuni adalah dinamika yang tidak terhindarkan, bila informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya , maka timbulah maslah psikologis.
Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu. Konsep ini berkaitan dengan konsep ekologi. Ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi maka lingkungan alam dan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah( Sulistyani et al., 1993).
Dalam suasana sesak dan padat, kondisi psikologis negatif mudah timbul sehingga memunculkan stres dan bernagai macam aktivitas sosial negatif( Wrightsman dan Deaux,1981). Bentuk aktivitas tersebut antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit fisik dan psikologis, stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis dan gangguan jiwa; 2)munculnya patologi sosial seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3)munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, prososial, dan kecenderungan berprasangka; 4)menurunya prestasi kerja.








--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Jika konsep kepadatan didefinisikan sebagai luas wilayah dibagi jumlah orang atau barang yang ada di dalamnya, maka jelas terlihat betapa kota jauh lebih padat dibanding dengan desa. Sebagai tempat berpijak dan bekerja, kota memiliki luas wilayah yang relatif tetap, bahkan berkurang. Artinya, tanah-tanah yang awalnya adalah pemukiman penduduk sekarang telah beralih fungsi menjadi pusat perkantoran dan perdagangan. Kecenderungan ruang yang semakin menyusut yang disertai dengan jumlah pertumbuhan manusia yang semakin banyak ini membuat kota tidak sepenuhnya mampu menyediakan tempat tinggal yang layak bagi para penghuninya.
Berdasarkan hitungan di atas kertas, Indonesia dalam waktu dua puluh lima tahun mendatang membutuhkan sekitar satu juta hektar luas lahan untuk menampung pertumbuhan penduduk kota yang semakin tak terkendali. Ini belum termasuk kebutuhan lahan untuk pengembangan kawasan perkotaan non-pemukiman seperti kawasan perkantoran dan pariwisata. Artinya, pada dekade pertama milenium ketiga (2000-2010), setiap tahun Indonesia harus menyiapkan daerah perkotaan baru rata-rata seluas sekitar lima puluh ribu hektar demi menampung tiga setengah juta penduduk baru (Santoso, 2006: 48). Hal ini mustahil, jika dilihat dari kondisi ruang perkotaan yang semakin mengkerut dan strategi pengembangan kota-kota di Indonesia sekarang ini yang semata-mata diserahkan kepada mekanisme pasar.
Perbandingan yang tidak seimbang antara ketersediaan ruang perkotaan dengan jumlah penghuninya yang semakin membludak secara sosial berdampak pada munculnya fenomena kepadatan (density), dan secara subjektif akan menimbulkan fenomena kesesakan (crowding). Keduanya merupakan ancaman serius yang dapat menggerogoti kesejahteraan hidup warga perkotaan.
Kesesakan adalah persepsi subjektif individu terhadap keterbatasan atau kepadatan ruang yang dinaunginya, atau perasaan subjektif karena terlalu banyak orang di sekelingnya (Gilford, 1987: 23). Kesesakan selalu bervalensi negatif karena dapat memicu perasaan tidak nyaman dan tidak menyenangkan bagi individu. Jika kesesakan berlangsung dalam waktu yang lama, dan individu mempersepsinya sebagai kondisi yang tak terhindarkan, maka kesejahteraan subjektif individu(subjective well-being) akan terancam—bahkan merosot tajam—sehingga muncul gangguan-gangguan psikologis seperti stres atau depresi.

Mekanisme adaptasi
Respon terhadap kesesakan selalu bersifat subjketif. Individu dituntut untuk tetap survive di tengah kondisi kehidupan perkotaan yang semakin berat. Untuk tetap mempertahankan subjective well-being-nya, individu akan menempuh langkah-langkah adaptasi sesuai dengan sumber daya lingkungan yang dimilikinya.
Adaptasi merupakan kapasitas individu untuk dapat mengontrol kembali kondisi lingkungan yang mengancam kenyamanan dirinya dan kemampun mempersiapkan diri untuk mengantisipasi kejadian-kejadian tak terduga di masa yang akan datang. Adaptasi terhadap kepadatan sosial merupakan langkah subjektif untuk menekan stimulus lingkungan yang bersifat mengganggu.
Dalam kajian psikologi lingkungan (environmental psychology), dikenal dua model adaptasi terkait dengan kepadatan sosial.
Pertama, pendekatan teritorialitas. Pendekatan ini berorientasi pada pembentukan kawasan geografis untuk mencapai tingkat privasi optimal. Usaha yang lazim digunakan adalah dengan menyusun ulang setting lingkungan atau pindah ke lokasi lain. Penyusunan setting lingkungan biasanya dilakukan dengan membuat tanda teritori seperti pagar, sungai buatan, atau taman. Keterbatasan pendekatan ini adalah bersifat statis—tidak ekspansif—karena berbasis pada struktur ruang yang definitif. Selain itu, pendekatan ini hanya berlaku dalam iklim sosial yang penuh kompetisi, yang konsekuensinya dapat menimbulkan prasangka dan jarak sosial (social gape).
Kedua, pendekatan ketrampilan diri. Pertama-tama individu mempersepsi kesesakan sebagai ketidaknyamanan yang muncul dari kehadiran orang lain dalam jumlah yang tidak dapat dikontrol sehingga membatasi kebebasan individu. Dengan begitu, yang paling penting dari pendekatan ini adalah resetting struktur kognitif agar lahir persepsi baru yang lebih positif terhadap kehadiran orang lain dan lingkungan. Berbeda dengan pendekatan teritorialitas yang melihat kehadiran orang lain sebagai ancaman, pendekatan ketrampilan diri menekankan evaluasi positif atas orang lain (Fisher & Bell, 1984: 87). Keterbatasan dari model adapatasi ini adalah semata-mata bertumpu pada individu. Padahal, lingkungan perkotaan sangat menentukan bagaimana persepsi individu itu terbentuk. Lingkungan perkotaan yang nyaman dan aman tentunya akan lebih mampu membuat individu mempersepsi orang lain secara lebih positif daripada lingkungan perkotaan yang penuh tindak kriminal.

Strategi pengembangan kota
Parameter umum yang dapat dijadikan acuan apakah sebuah kota itu nyaman dihuni atau tidak terletak pada sejauh mana derajad kepublikan dan daya dukung sebuah kota bagi aktivitas warganya. Semakin kota memiliki derajad kepublikan yang tinggi dan mampu menyediakan kenyamanan bagi aktivitas warganya, maka kota tersebut dapat dikatakan sebagai kota yang sehat. Sebaliknya, jika sebuah kota itu bersifat mengisolasi dan menghambat aktivitas warganya sehingga tidak nyaman untuk dihuni, maka kota tersebut adalah kota yang sakit (the sick city).
Kota yang sehat adalah tempat bermukim yang nyaman dan memilliki konsep pengembangan kota yang berkelanjutan. Setidaknya, sebuh kota yang sehat memiliki visi pembangunan yang bertumpu pada pencapaian-pencapaian sebagai berikut:
Pertama, memiliki standar kenyamanan (standard of livability) yang tinggi. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan tingkat kenyamanan dan kesejahteraan warganya dengan kenyamanan dan kesejahteraan warga kota lain.
Kedua, memiliki manajemen perkotaan yang mampu menjaga keutuhan kawasan per kawasan. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan setiap kawasan sebagai langkah awal untuk menjaga keutuhan lingkungan perkotaan secara keseluruhan, dan untuk mengembangkan kawasan baru dalam rangka mengembangkan fungsi-fungsi perkotaan yang baru.
Ketiga, memiliki institusi khusus yang dapat memobilisasi sumber-sumber pendanaan pembangunan pemukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan sampai batas tertentu terlepas dari mekanisme pasar (Santoso, 2006:103).
Disamping ketiga hal di atas, dan tak kalah pentingnya, adalah terkait dengan komposisi penggunaan lahan perkotaan. Sebuah kota yang sehat juga harus menyediakan kurang lebih tiga puluh persen luas lahannya untuk area hijau. Area ini berfungsi sebagai paru-paru kota, yang akan menjaga kebersihan udara perkotaan dari dampak buruk gas buang kendaraan bermotor yang semakin tinggi.


Sumber: Afif, Afthonul. 2008. Kesesakan. http://psikotikafif.wordpress.com/2008/06/25/59/. Diakses tanggal 26 Februari 2011.
Sumber : http://docs.google.com

0 komentar: