Penerapan Terapi Bermain Bagi Penyandang ADHD (2)

Jumat, 26 Februari 2010

PENGGUNAAN TERAPI BERMAIN SEBAGAI TEKNIK PSIKOTERAPI

1. Nilai Terapiutik dari Permainan
Bermain pada anak-anak ibarat berbicara pada orang dewasa. Jika diberikan kesempatan, maka anak akan mengeluarkan perasaan dan kebutuhan dengan ekpresi atau tindakan atau proses – takut, puas, marah, bahagia, frustasi – menyerupai orang dewasa. Mungkin anak tidak dapat mengatakan apa yang dia rasakan atau bagaimana mereka terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Tapi dengan adanya orang dewasa yang peduli, sensitif, dan empati, mereka akan memperlihatkan perasaan atau peristiwa yang mempengaruhi dirinya melalui permainan (Landreth,2001). Saat anak mengeluarkan perasaannya melalui permainan, maka mereka membawa perasaan tersebut ke dalam tingkat kesadaran, sehingga akhirnya mereka akan terbuka, menerima, dan belajar mengendalikan atau menolaknya (Axline dalam Landreth, 2001). Hartup & Smothergill (dalam Landreth, 2001) menyatakan bahwa dalam bermain, anak dapat mengurangi tegangan, mengendalikan kecemasan, merespon secara wajar, atau memanifestasikannya dalam penerimaan. Saat anak mengulang kembali pengalamannya dalam bermain imajinatif, mereka dapat mengatasi masalah atau mengatasi ketakutannya, dan menyembuhkan luka hatinya (Weissbourd dalam Landreth, 2001).
Permainan untuk memfasilitasi ekspresi diri dapat berupa bentuk-bentuk berikut:
 Mainan kehidupan nyata. Boneka yang terdiri atas keluarga (ibu, bapak, anak), boneka rumah-rumahan, binatang peliharaan, atau tokoh kartun dapat menjadi media untuk mengekpresikan perasaan secara langsung. Terapis juga dapat menggunakan mainan keseharian seperti mobil-mobilan, alat masak memasak tiruan, kartu bergambar , atau kapal-kapalan untuk melihat pengalaman hidup klien.
 Mainan pelepas agresivitas-bermain peran. Klien dapat mengkomunikasikan emosi yang terpendam melalui mainan atau materi seperti karung tinju, boneka tentara, boneka dinosaurus dan hewan-hewan buas, pistol dan pisau mainan, boneka orang, dan balok kayu.
 Mainan pelepas emosi dan ekspresi kreativitas. Pasir, air, balok, atau lilin dapat menjadi sarana klien mengekspresikan emosi atau kreativitasnya.
2. Kepada Siapa Terapi Bermain Diberikan
Terapi bermain dapat dipakai baik sebagai asesmen maupun sebagai terapi. Sebagai sebuah terapi, terapi bermain dapat diberikan antara lain kepada anak yang:
 Mempunyai pengalaman diperlakukan dengan kejam & diabaikan
Perlakuan yang kejam (seperti perkosaan, serangan fisik, pukulan) dan pengabaian menyebabkan konflik diri dan masalah hubungan yang serius, dan terapi bermain memungkinkan klien mengembangkan mekanisme penyelesaian masalah dan adaptasi (Klem dan Peres dalam Landreth, 2001). Hal ini dikemukakan juga dalam tulisan Sukmaningrum (2001) yang menunjukkan efektivitas terapi bermain sebagai alternatif penanganan anak-anak yang mengalami trauma karena kekerasan massal.

 Agresif
Perilaku agresif seringkali berakar dari keinginan, harapan, atau perasaan yang tidak dapat diekspresikan. Dalam terapi bermain, klien dapat bebas bereksprimen melakukan perilaku yang lebih efektif (Levy dalam Landreth, 2001).
 Gangguan emosi dan skizofren
Terapi bermain memberikan suasana yang aman dimana anak yang emosinya terganggu dapat bermain peran mengungkapkan emosi terpendamnya dan belajar untuk mengatasi lingkungannya dengan lebih baik (Gumaer dan Landreth dalam Landreth, 2001). Penelitian Irwin (dalam Landreth, 2001) menunjukkan bahwa terapi bermain juga dapat diterapkan pada anak dengan gangguan mental seperti skizofren.
 Takut dan cemas
Terapi bermain menyediakan lingkungan yang aman dan penerimaan sehingga klien bebas mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya, misalnya pada anak yang fobia sekolah. Saat rasa takut dan cemas terekspresikan maka selanjutnya klien akan mampu mengendalikan perasaan tersebut dan berkembang lebih sehat (Levy, Straughan, Landreth dkk, dan Milos & Reis dalam Landreth, 2001).
 Mengalami masalah Penyesuaian sosial
Penelitian Coplan, Prakash, O’Neil, dan Armer (2004) pada anak-anak usia 3-5 tahun menunjukkan bahwa terapi bermain dapat digunakan untuk melihat penarikan diri secara sosial berdasarkan kecemasan sosial dan ketidaktertarikan sosial. Penelitian Openheim (1997) menunjukkan bahwa terapi bermain dengan boneka mengurangi gangguan berpisah (separation) anak prasekolah, terutama berpisah dari ibu.
 Kesulitan bicara
Penelitian Lyytinen, Dikkens, dan Laakso (1997) menunjukkan bahwa bermain simbolik terbukti dapat meningkatkan kemampuan berbahasa anak usia dini.
 Mengalami gangguan visual spatial
Penelitian yang dilakukan oleh Caldera, Culp, O’Brien, Tonglio, Alvaren, dan Huston (1999) menunjukkan bahwa bermain dengan menggunakan permainan yang maskulin dan manipulatif, misalnya bermain bola, dapat meningkatkan kemampuan visual-spatial pada anak. Jadi anak dengan gangguan koordinasi tubuh (clumcy) dapat diterapi dengan bermain maskulin dan manipulatif.
 Anak penyandang Autism
Penyandang autism biasanya hidup dalam dunia sendiri dan “terisolasi” dari dunia sosialnya. Menurut hasil penelitian McConnell (2002) prosedur intervensi melalui permainan dengan teman sebaya dapat membantu penyandang autisme membangun kesadarannya akan dunia sekitarnya dan akan keberadaan orang lain. Kemampuan berinteraksi sosial anak autism ini juga dapat ditingkatkan melalui permainan dalam bentuk pemberian cerita sosial (social story) kepada mereka (Sugiarto, dkk., 2004).
Disamping diberikan kepada mereka sebagai bentuk terapi, ternyata sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2004) menunjukkan bahwa bentuk permainan sosial dapat meningkatkan kecerdasan emosi pada anak-anak pra-sekolah. Hal ini ditunjukkannya dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak pra-sekolah di Surabaya.
3. Prosedur dalam Terapi Bermain
Fase Persiapan
Sebelum memasuki fase terapi bermain anak harus disiapkan sehingga mereka tahu apa yang akan dihadapi dan akan dilakukannya. Beberapa orang tua tidak cukup menyiapkan anak mereka, karena mereka tidak tahu apa yang harus dikatakan, atau takut anak tidak mau mengikuti terapi saat mereka memberi tahu bahwa anak akan menjalani terapi. Orang tua sebaiknya memberi tahu bahwa anak akan bertemu dengan terapis dalam ruang khusus dimana disana banyak mainan setiap minggu dan menjelaskan bahwa proses ini akan membantu anak menemukan hal yang lebih baik.
Proses Terapi Bermain
Moustakas (dalam Landreth, 2001) menggambarkan lima tahap dimana anak yang mengalami gangguan emosi berkembang menuju ekspresi diri dan kesadaran diri dalam proses terapi permainan:
1) Emosi negatif terekspresikan secara menyebar ditempat klien bermain. Misalnya ekspresi dari reaksi terhadap kekerasan tersebar pada ruang bermain, alat permainan, atau pada terapis.
2) Anak mengekspresikan emosi yang bertentangan, misalnya antara kecemasan dengan kekasaran.
3) Anak lebih fokus dalam mengekspresikan emosi negatif, misalnya pada orang tua, diri sendiri, atau orang lain dalam hidupnya.
4) Emosi dan sikap yang bertentangan, negatif dengan positif, kembali terjadi dengan fokus pada orang tua, diri anak, atau orang lain.
5) Anak mengekspresikan tilikan diri dan pemahaman atas emosi negatif ataupun positif yang ada pada dirinya dengan jelas, terbedakan, terpisah, dan realistik dengan sikap positif yang lebih dominan.
Axline (dalam Landreth, 2001) menggambarkan proses tahapan ekspresi diri klien melalui permainan sebagai berikut: pada saat sesi terapi berkembang, banyak sikap dan emosi klien yang diekspresikan secara simbolik dari permainan ke permainan, dari klien ke orang khayalan, dari klien ke orang yang sesungguhnya, dan dari anak ke objek emosinya. Pada akhir terapi, klien bertanggung jawab atas emosinya tersebut, dan mengekspresikan diri secara jujur dan terbuka melalui permainan. Klien akan menyadari emosinya, dan belajar mengontrol ataupun menghilangkan emosi tersebut. Dalam terapi ini dibutuhkan lingkungan yang menerima tanpa syarat dan aman.
Hal Penting Sesudah Terapi Bermain
Terapis harus menjelaskan pada orang tua bahwa setelah sesi terapi selesai mereka jangan bertanya pada anak tentang apa yang terjadi atau bagaimana perasaan anak selama sesi berlangsung. Ini untuk menjamin anak merasa aman, privasinya terjaga, dan dipercaya. Akan tetapi hal tersebut diperbolehkan jika anak yang lebih dulu memulai pembicaraan tentang sesi yang berlangsung. Terapis juga harus mengkomunikasikan kepada orang tua jika memberikan pekerjaan rumah seperti menggambar atau melukis.
Karakteristik Kepribadian Terapis Bermain yang Efektif
a. Secara tulus tertarik pada dunia anak dan mampu mengembangkan hubungan yang hangat dan menyenangkan
b. Penerimaan tanpa syarat terapis terhadap anak dan tidak mengharapkan adanya hal yang lain pada anak
c. Terapis menciptakan rasa aman dan kebebasan dalam hubungan dengan anak sehingga anak merasa bebas bereksplorasi dan mengekspresikan diri sepenuhnya.
d. Terapis selalu sensitif terhadap perasaan anak dan dengan hati-hati merefleksikan perasaan tersebut sehingga anak mengembangkan pengertian diri
e. Terapis percaya bahwa anak dapat bertanggung jawab dalam bertindak, menghargai, dan membiarkan anak menunjukkan kemampuannya menyelesaikan masalah pribadi.
f. Terapis percaya pengarahan diri anak, membiarkan anak memimpin di segala area hubungan dan tidak mengarahkan anak dalam bermain atau berbicara.
g. Terapis menghargai peningkatan proses terapiutik yang alami dan tidak terburu-buru.
h. Terapis membangun batasan terapiutik yang membantu anak menerima tanggung jawab dari hubungan personal yang tepat.
DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PERILAKU ANAK DENGAN ADHD (ATTENTION DEFICITS & HIPERACTIVITY DISORDER)
ADHD adalah salah satu kondisi neurologis yang melibatkan gangguan pada proses memusatkan perhatian dan perilaku hiperaktivitas dan impulsivitas, yang tidak sejalan dengan tingkat usia anak. Hal ini menunjukkan bahwa ADHD bukan semata-mata gangguan perhatian seperti asumsi yang selama ini ada, namun lebih kepada kegagalan perkembangan fungsi sirkuit otak yang memonitor kontrol diri dan inhibisi. Hilangnya regulasi diri ini mengganggu fungsi otak yang lain yang penting untuk memelihara perhatian, termasuk kemampuan untuk menunda imbalan (Barkley, 1998). Perilaku anak dengan ADHD juga meliputi aktivitas motorik yang berlebihan. Anak-anak yang mengalami ADHD menunjukkan beberapa macam gejala dan tingkat keparahan yang berbeda-beda.
Anak-anak dengan ADHD umumnya menunjukkan perilaku yang secara umum dibagi dalam dua kelompok, yaitu: kurangnya kemampuan memelihara perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas. Hal ini membuat APA (American Psychiatric Association) dalam DSM-IV membagi gangguan ini dalam 3 jenis, yaitu: yang gejala utamanya kurang perhatian; gejala utama hiperaktivitas-impulsivitas; dan kombinasi kedua tipe tersebut (Barkley, 1997). Anak yang hiperaktif akan selalu tampak tidak tenang, sulit duduk tenang dan bermain dengan diam, dan selalu bergerak seolah-olah digerakkan oleh mesin. Anak-anak yang impulsive kadang kesulitan berpartisipasi dalam tugas yang mengharuskan antri (menunggu giliran). Kadang juga terlihat selalu berpindah-pindah dari satu tugas ke tugas yang lain sebelum menyelesaikan tugas-tugas sebelumnya atau menjawab pertanyaan yang diajukan seelum diminta atau sebelum pertanyaan selesai. Kurangnya kemampuan memusatnya perhatian pada anak ADHD mempengaruhi proses belajar karena membuat mereka kesulitan memperhatikan instruksi, sulit memelihara perhatian untuk suatu tugas tertentu, dan sering salah meletakkan benda pada tempatnya. Anak-anak ini biasanya sulit memperhatikan hal-hal detil, ceroboh, dan menolak tugas-tugas yang menuntut konsentrasi.
Beberapa gejala yang muncul dalam gangguan ADHD ini menimbulkan akibat yang mempengaruhi beberapa aspek dalam perkembangan anak, diantaranya dalam proses belajar kemungkinan memunculkan kesulitan belajar; dalam kehidupan sosial anak-anak dengan ADHD sering mengalami isolasi sosial sehingga harga dirinya cenderung rendah. Isolasi sosial dapat muncul karena anak-anak yang hiperaktif terkadang cenderung agresif dan kurang dapat mengikuti aturan atau menunggu giliran, sementara anak-anak yang inattentive cenderung menarik diri (NIMH, 1999).
Berdasarkan data yang disampaikan Departemen Pendidikan Amerika tahun 2003, diperkirakan di USA terdapat 1,46 sampai 2,46 juta anak (3%-5% dari populasi pelajar) yang mengalami ADHD. Anak laki-laki 4 sampai 9 kali lebih banyak didiagnosa ADHD, dan gangguan ini dapat ditemukan di semua budaya, meski dengan prevalensi yang berbeda-beda (U.S. Department of Education, 2003). Sayangnya, data tentang jumlah dan prevalensi anak Indonesia yang mengalami ADHD belum dapat saya temukan.
Anak-anak dengan ADHD biasanya menampakkan perilaku yang dapat dikelompokkan dalam 2 kategori utama, yaitu: kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas.
Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. ketidakmampuan memperhatikan detil atau melakukan kecerobohan dalam mengerjakan tugas, bekerja, atau aktivitas lain.
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. Kadang terlihat tidak perhatian ketika berbicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan kegagalan menyelesaikan tugas
e. Kesulitan mengorganisasikan tugas dan aktivitas
f. Kadang menolak, tidak suka, atau enggan terlibat dalam tugas yang memerlukan proses mental yang lama, misalnya: tugas sekolah
g. Sering kehilangan barang miliknya, misal: mainan, pensil, buku, dll
h. Mudah terganggu stimulus dari luar
i. Sering lupa dengan aktivitas sehari-hari
Sedangkan hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:
a. gelisah atau sering menggeliat di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau situasi lain dimana seharusnya duduk tenang
c. berlari berlebihan atau memanjat-manjat yang tidak tepat situasi (pada remaja atau dewasa terbatas pada perasaan tidak dapat tenang/gelisah)
d. kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. seolah selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
f. berbicara terlalu banyak
g. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai diberikan. (Impulsivitas)
h. kesulitan menunggu giliran (Impulsivitas)
i. menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Impulsivitas)
Terkadang gejala tersebut juga diikuti oleh agresivitas dalam bentuk :
a. sering mendesak, mengancam, atau mengintimidasi orang lain
b. sering memulai perkelahian
c. menggunakan senjata tajam yang dapat melukai orang lain
d. berlaku kasar secara fisik terhadap orang lain
e. menyiksa binatang
f. menyanggah jika dikonfrontasi dengan korbannya
g. memaksa orang lain melakukan aktivitas seksual

Sumber : Klinis Blog

0 komentar: