Penerapan Terapi Bermain Bagi Penyandang ADHD (1)

Jumat, 26 Februari 2010

PENDAHULUAN
Membicarakan anak tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang bermain. Bermain adalah dunia anak. Dimanapun anak-anak berada dan di waktu apapun, bermain adalah aktivitas utama mereka. Bermain juga suatu bahasa yang paling universal, meskipun tidak pernah dimasukkan sebagai salah satu dari ribuan bahasa yang ada di dunia. Melalui bermain, anak-anak dapat mengekspresikan apapun yang mereka inginkan. Tak diragukan bahwa anak-anak bermain sepanjang waktu yang mereka miliki.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, mulai akhir tahun 1800-an bermain dipandang sebagai aktivitas yang penting untuk anak. Sebelumnya, bermain hanya dipandang sebagai ekspresi dari kelebihan energi yang dimiliki anak-anak atau sebagai bagian dari ritual budaya dan agama. Seiring perkembangan waktu, pandangan para ahli tentang bermain berubah dan bermain dipandang sebagai perilaku yang bermakna. Misalnya, menurut Groos (Schaefer, et al., 1991) bermain dipandang sebagai ekspresi insting untuk berlatih peran di masa mendatang yang penting untuk bertahan hidup. Sedang Hall (dalam Schaefer, et al., 1991) melihat bermain sebagai rekapitulasi perkembangan suatu ras dan merupakan media yang penting untuk menyatakan kehidupan dalam diri (inner life) anak. Bahkan menurut Hall tidak ada alat yang dapat mengungkap jiwa anak sebaik permainan boneka.

DEFINISI TERAPI BERMAIN
Sebelum kita sampai pada penjelasan tentang terapi bermain, maka kita perlu memahami dulu tentang definisi bermain. Bermain adalah bagian integral dari masa kanak-kanak, media yang unik untuk memfasilitasi perkembangan ekspresi bahasa, ketrampilan komunikasi, perkembangan emosi, ketrampilan sosial, ketrampilan pengambilan keputusan, dan perkembangan kognitif pada anak-anak (Landreth, 2001). Bermain juga dikatakan sebagai media untuk eksplorasi dan penemuan hubungan interpersonal, eksperimen dalam peran orang dewasa, dan memahami perasaannya sendiri. Bermain adalah bentuk ekspresi diri yang paling lengkap yang pernah dikembangkan manusia. Bermain adalah rangkaian perilaku yang sangat kompleks dan multi-dimensional, yang berubah secara signifikan seiring pertumbuhan dan perkembangan anak, yang lebih mudah untuk diamati daripada untuk didefinisikan dengan kata-kata. Kesulitan dalam mendefinisikan permainan yang dapat diterima banyak pihak adalah karena tidak adanya satu set permainan yang dapat mencakup banyak tipe permainan.
Erikson (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan bermain sebagai suatu situasi dimana ego dapat bertransaksi dengan pengalaman dengan menciptakan situasi model dan juga dapat menguasai realitas melalui percobaan dan perencanaan. Moustakas (dalam Landreth, 2001) mendefinisikan permainan sebagai ‘pembiaran pergi’, kebebasan untuk mengalami, membenamkan seseorang secara total dalam momen tersebut sehingga tidak ada lagi beda antara diri dan objek dan diri sendiri dan orang lain. Energi, hidup, spirit, kejutan, peleburan, kesadaran, pembaharuan, semuanya adalah kualitas dalam permainan.

Menurut McCune, Nicolich, & Fenson (dalam Schaefer, et al., 1991) bermain dibedakan dari perilaku yang lain dalam hal: (a) ditujukan demi kesenangan sendiri; (b) fokus lebih pada makna daripada hasil akhir; (c) diarahkan pada eksplorasi subjek untuk melakukan sesuatu pada objek; (d) tanpa mengharapkan hasil serius; (e) tidak diatur oleh aturan eksternal; (f) adanya keterikatan aktif dari pemainnya. Sedangkan Garvey dan Piaget menambahkan bahwa permainan haruslah: (a) menyenangkan; (b) spontan, sukarela, motivasinya instrinsik; (c) fleksibel; dan (d) berkait dengan pertumbuhan fisik dan kognitif.
Sementara Landreth (2001) mendefinisikan terapi bermain sebagai hubungan interpersonal yang dinamis antara anak dengan terapis yang terlatih dalam prosedur terapi bermain yang menyediakan materi permainan yang dipilih dan memfasilitasi perkembangan suatu hubungan yang aman bagi anak untuk sepenuhnya mengekspresikan dan eksplorasi dirinya (perasaan, pikiran, pengalaman, dan perilakunya) melalui media bermain.
International Association for Play Therapy (APT), sebuah asosiasi terapi bermain yang berpusat di Amerika, dalam situsnya di internet mendefinisikan terapi bermain sebagai penggunaan secara sistematik dari model teoritis untuk memantapkan proses interpersonal dimana terapis bermain menggunakan kekuatan terapiutik permainan untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (www.a4pt.org).
Beberapa definisi terapi bermain tersebut mengarah pada beberapa hal penting, yaitu: (a) tipe dan jumlah permainan yang digunakan; (b) konteks permainan; (c) partisipan yang terlibat; (d) urutan permainan; (e) ruang yang digunakan; (f) gaya bermain; (g) tingkat usaha yang dicurahkan dalam permainan.
Berdasarkan banyak definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permainan adalah aktivitas yang mengandung motivasi instrinsik, memberi kesenangan dan kepuasan bagi siapa yang terlibat, dan dipilih secara sukarela. Sementara terapi bermain adalah pemanfaatan permainan sebagai media yang efektif oleh terapis, untuk membantu klien mencegah atau menyelesaikan kesulitan-kesulitan psikososial dan mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, melalui kebebasan eksplorasi dan ekspresi diri.

PERKEMBANGAN PERILAKU BERMAIN DALAM PENJANGKAAN KONDISI PSIKOLOGIS ANAK-ANAK 
Perilaku bermain kemudian menjadi bagian yang penting dari teori-teori psikologi perkembangan. Tulisan Freud tentang perkembangan psikoseksual membuat komunitas ilmiah menaruh perhatian lebih kepada perkembangan awal masa kanak-kanak dan perilaku anak sebagai jalan untuk memahami perkembangan kepribadian masa dewasa. Freud berpendapat bahwa perilaku anak yang terlihat adalah refleksi dari masalah-masalah dan konflik-konflik yang tidak disadari. Kemudian Freud memperluas pandangannya bahwa perilaku bermain merupakan suatu penguasaan yang spesifik dari anak. Namun sejauh ini Freud baru melihat perilaku bermain dalam tataran konsep namun dalam pelaksanaan terapi belum digunakan. Baru oleh Melanie Klein dan Anna Freud (Schaefer, et al., 1991), bermain dimasukkan dalam proses terapiutik. Menggunakan dasar konsep psikoanalisa, mereka memasukkan dan mempopulerkan penggunaan alat-alat permainan dalam penanganan/tritmen yang efektif bagi anak-anak.
Tokoh lain yang mengembangkan permainan sebagai instrument dalam assessmen psikologis adalah Margaret Lowenfeld, yang memperkenalkan apa yang dia sebut “Teknik Miniatur Dunia”. Teknik ini merupakan sistem pertama dalam penggunaan mainan dan objek dalam bentuk mini (miniatur) secara terorganisasi, yang digunakan dalam terapi bermain. Tekniknya ini memperluas fokus perhatian para terapis dari sekedar menginterpretasi menjadi lebih banyak melakukan observasi secara formal dan metodis penggunaan permainan anak dalam situasi terapi. Namun sejauh itu Lowenfeld belum menganjurkan penggunaan teknik tersebut sebagai alat diagnostik.
Selanjutnya Erikson juga mulai mempublikasikan karyanya tentang anak dan remaja. Mendasarkan pada teori perkembangan psikososialnya, Erikson memandang bermain sebagai sebuah ekspresi kombinasi beberapa kekuatan, yaitu: perkembangan individual, dinamika keluarga, dan harapan masyarakat. Maka untuk melakukan observasi terhadap perilaku bermain, seorang observer harus paham betul bagaimana seorang anak dengan usia tertentu dan dari latar belakang komunitas tertentu harus bermain secara tepat. Hanya dengan cara tersebut maka observer dapat mengetahui dan memutuskan apakah perilaku subjek dalam bermain dapat dikatakan memiliki makna umum (normal) atau tidak normal. Seperti juga Freud, Erikson memandang permainan sebagai jalan mengetahui ketidaksadaran subjek.
Piaget dengan teorinya tentang perkembangan kognitif juga memberi perhatian pada perilaku bermain. Menurutnya, perubahan perilaku bermain menunjukkan perkembangan intelektual, sama seperti peningkatan kompetensi individu. Bermain juga menjadi media bagi individu untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajarinya.
Tokoh lain yang mengembangkan penggunaan permainan dalam assessmen adalah Virginia Axline. Axline menyatukannya dengan pendekatan nondirective client-centered milik Rogers yang sebelumnya hanya untuk orang dewasa. Menurut Axline, dalam situasi bermain anak-anak menampilkan diri mereka dengan cara yang paling terus terang, jujur, dan jelas. Perasaan mereka, sikap, dan pikiran-pikiran yang muncul, terbuka dengan jelas dan tanpa usaha untuk ditutup-tutupi. Anak-anak juga belajar memahami diri mereka dan orang lain dengan lebih baik lewat bermain. Mereka belajar bahwa ketika bermain mereka dapat melakukan apapun, menciptakan dunia sendiri, menciptakan atau menghancurkan sesuatu.
Selama tahun-tahun 1930-an sampai 1960-an, bermain oleh para klinisi lebih dipandang sebagai tritmen daripada instrumen penjangka/assessmen. Namun kemudian beberapa ahli mengembangkan permainan sebagai alat diagnostik. Salah satu yang terkenal adalah “Teknik miniatur dunia” hasil karya Lowenfeld, yang dikatakan dapat menentukan taraf perkembangan fungsi anak, meliputi perkembangan : kemampuan bicara, motorik, intelektual, sosial, intrapsikis, dan perkembangan afektif. Setelah mengalami perkembangan yang bagus di tahun-tahun 1950-an, selanjutnya terapi bermain agak surut dan popularitasnya mulai menurun. Sekitar tahun 1960-an para profesional mulai beralih kepada tritmen yang perilakuan, dibatasi waktu, kognitif, dan berorientasi kepada keluarga dan model medis. Terapi bermain hanya menjadi salah satu diantara sekian banyak cara untuk melihat dan memperlakukan anak yang mengalami masalah emosional.
Pada tahun-tahun 1970 – 1980-an permainan anak kembali muncul sebagai teknik utama dalam memahami dan memberi tritmen pada anak. Kemudian para ahli banyak mengembangkan lebih banyak standar objektif untuk mengamati anak dan membanding-bandingkan perilaku bermain. Dengan standar tersebut maka para klinisi dapat memperoleh data tentang perilaku anak melalui permainan, dimana datanya lebih reliabel dan objektif.
Saat ini, perilaku bermain anak dipercaya merupakan refleksi dari bermacam aspek inner life anak, taraf perkembangan fungsi dan kemampuannya. Diantara karakteristik-karakteristik tersebut, yang dapat diamati melalui perilaku bermain anak adalah: perkembangan ego, corak kognitif, kemampuan adaptasi, fungsi bahasa, responsitas emosi dan perilaku, tingkat sosial, perkembangan moral, kemampuan intelektual, gaya coping, teknik pemecahan masalah, dan bagaimana anak memandang dan memaknai dunia disekitarnya.

Sumber : Klinis Blog

0 komentar: