Anak Jalan (Studi Kasus Atas Persoalan Sosial)

Senin, 17 Mei 2010

Situasi Umum

Anak jalanan adalah “seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menggunakan atau menghabiskan seluruh waktunya dengan melakukan kegiatan di jalan untuk mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya”

Keberadaan anak jalanan telah menjadi fenomena global. Seorang pejabat UNICEF memperkirakan ada sekitar 100 juta anak jalanan di dunia. Di Asia, menurut perkiraan Childhope Asia, sebuah NGO yang berbasis di Philipina, memperkirakan ada sekitar 25-30 juta anak jalanan (Chaturvedi, 1994). Di Indonesia, Anwar dan Irwanto (1998) dalam analisis situasi mengenai anak jalanan, mengutip data Departemen Sosial yang menunjukkan ada sekitar 50,000 anak jalanan. Banyak pihak, termasuk keduanya meyakini besaran jumlah anak jalanan jauh di atas perkiraan tersebut. Terlebih bila dikaitkan dengan terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan jumlah anak jalanan di Indonesia meningkat sekitar 400% (Kompas, 4 Mei 1998). Berbagai perkiraan yang dilansir berbagai pihak berkisar antara 50,000-170,000 anak jalanan.

Informasi mengenai kehidupan anak jalanan di manapun menggambarkan situasi buruk yang harus dihadapi anak jalanan. Berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi hingga penghilangan nyawa secara paksa menjadi bagian dari kehidupan mereka. Stigmatisasi publik menyebabkan mereka terisolasi atau mengisolasi diri sehingga tumbuh “nilai-nilai baru” yang boleh jadi sangat bertentangan dengan “nilai-nilai umum”. Pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan perlindungan hukum, menurut Nusa Putra (1994) justru meletakkan kegiatan anak jalanan sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Keseluruhan situasi yang dihadapi berakibat terhambatnya perkembangan kapasitas anak baik secara fisik, mental, dan sosial.

Berdasarkan situasi yang dialami anak jalanan, UNICEF mengelompokkan anak jalanan ke dalam kelompok anak yang mengalami situasi sulit atau anak yang membutuhkan perlindungan khusus.

Upaya perlindungan terhadap anak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan lahirnya Konvensi Hak-hak Anak yang diadposi oleh PBB pada tahun 1989. Indonesia diketahui turut menandatangani dan meratifikasi KHA tersebut melalui Keppres No. 36 tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia terikat secara yuridis (dan politis) untuk mengimplementasikan KHA. Namun sejauh mana efektivitas program pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan KHA, masih menjadi bahan pertanyaan. Terlebih bila dispesifikkan untuk kepentingan anak jalanan.

Selintas Anak Jalanan Semarang

Keberadaan anak jalanan di Semarang sudah bisa dijumpai sejak awal tahun 90-an. Pada saat itu hanya ada tiga kawasan yang menjadi tempat kegiatan mereka yang kemudian berkembang menjadi enam kawasan (Pasar Johar, Tugu Muda, Terminal Terboyo, Simpang Lima, Karang Ayu, dan Stasiun Poncol). Pada masa awal terjadi krisis ekonomi, kawasan kegiatan anak jalanan menjadi 20 kawasan (PSW Undip, 1998). Pemetaan yang dilakukan oleh Departemen Sosial dan PKPM Atmajaya pada tahun 1999 menunjukkan kawasan kegiatan anak jalanan semakin tersebar luas menjadi 208 titik.

Perkembangan lokasi kegiatan anak jalanan diakibatkan adanya peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat. Pendataan yang dilakukan PAJS pada tahun 1996 memperkirakan jumlah anak jalanan sekitar 500 anak dan pada tahun 1997 telah meningkat menjadi 700 anak. Pada masa krisis ekonomi, perkiraan jumlah anak jalanan berkisar antara 1,500-2,000 (lihat Tabloid Manunggal, edisi V/thn XVII/April-Mei 1998 dan Depsos-PKPM Atmajaya, 1999)
Berdasarkan daerah asal, telah terjadi pergeseran yang perlu dicermati. Pada tahun 1994, prosentase anak yang berasal dari luar kota masih lebih besar, yaitu 53%. Pada tahun-tahun berikutnya, pertumbuhan anak jalanan dari dalam kota semakin besar dan menjadi dominan.  Berdasarkan data anak yang difasilitasi oleh Yayasan Setara pada tahun 2000, dari 223 anak di tiga kawasan, 85% dari mereka berasal dari dalam kota Semarang sendiri dan 34% diantaranya justru tinggal di jalanan. Tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal yaitu; bangunan kosong, los pasar, emperan toko, taman atau lapangan, gerbong, pos jaga, halte dan bus rusak.
Meningkatnya jumlah anak jalanan terutama yang berasal dari kota Semarang sendiri menyebabkan terjadinya perubahan yang besar dalam kehidupan anak jalanan, yaitu;


  • Lokasi kegiatan anak jalanan semakin meluas
  • Mulai terjadi penguasaan wilayah
  • Anak jalanan yang berasal dari luar kota semakin tersisih dan cenderung pindah ke kota lain
  • Proses inisiasi yang penuh nuansa kekerasan mulai muncul
  • Munculnya berbagai kegiatan baru untuk mendapatkan uang seperti lap mobil/ motor dan dominannya kegiatan mengemis yang pada tahun sebelumnya menjadi bahan ejekan sesama anak jalanan.
  • Meningkatnya tindakan kriminal
Mencermati perkembangan situasi anak jalanan beberapa tahun belakangan ini, Yayasan Setara mengidentifikasikan beberapa masalah yang menonjol, yaitu

Kekerasan terhadap anak jalanan
Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan Semarang. Monitoring PAJS (1997) di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (kepolisian, Satpol PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal senada diungkap pula dalam laporan penelitian YDA (1997) yang menyatakan bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi di mana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan (Permadi & Ardhianie –peny.; 1997). Selain kasus kekerasan yang dialami secara personal, kekerasan terhadap komunitas juga kerap terjadi. Warga Semarang mungkin masih teringat kasus penyerangan dan pengrusakan rumah singgah di kawasan Lemah Gempal pada tahun 1997 oleh sekelompok orang tak dikenal yang disusul dengan teror-teror terhadap anak jalanan (Info Jalanan, edisi khusus, September 1997). Setelah mengalami nasib buruk, anak-anak jalanan yang terhimpun dalam PAJS kembali menjadi korban kekerasan oleh negara melalui pernyataan pejabat Pemerintah Daerah Kotamadya Semarang yang melarang PAJS untuk beraktivitas karena dianggap organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998). Kasus kekerasan yang baru saja terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah singgah oleh ketua LSM pengelolanya sendiri dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala di mana dua anak perempuan menjadi korban perkosaan kelompok tersebut (Aliansi; 2000).

Kekerasan dan eksploitasi seksual
Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan. Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang yang dikenal dengan istilah pangris atau Jepang baris. Di kawasan Simpang Lima, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu. Lalu belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri (lihat misalnya; Radar Semarang & Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4 September 2000).
Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi. Pada tahun 1997, YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun berikutnya meningkat menjadi 28% (PSW Undip; 1998) dan meningkat lagi menjadi 46,4% (Shalahuddin, 2000b). Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan yang pernah dikemukakan oleh Setara (1999), pada perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil monitoring pada periode Januari-Juni 2000, Yayasan Setara mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan ke daerah Batam dan Riau (Shalahuddin, -peny.;  2000a). Kasus pornografi terhadap anak jalanan diduga juga terjadi. Namun sejauh ini belum ada data-data yang mengungkapkan hal tersebut.

Seks bebas dan Perilaku seksual usia dini
Seks bebas telah diketahui publik menjadi bagian dari kehidupan anak jalanan. Berbagai hasil penelitian anak jalanan yang ada semakin memperkuat pandangan semacam itu. Di Semarang, seks bebas sesama anak jalanan juga terjadi. YDA (1997) dalam penelitiannya melaporkan bahwa 31% anak jalanan Semarang pernah melakukan hubungan seksual dan cenderung berganti-ganti pasangan. Laporan penelitian Yayasan Setara (Shalahuddin, 2000b) mengungkapkan bahwa dari 46 anak jalanan perempuan, 38 anak (67,8%) telah memiliki pengalaman seksual. 27 anak diantaranya memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan dan 26 anak diindikasikan berada dalam prostitusi.
Berdasarkan pengalaman selama berinteraksi dengan anak jalanan biasanya anak yang memiliki pengalaman seksual berumur 15 tahun ke atas. Namun, berdasarkan hasil monitoring dan investigasi Yayasan Setara pada awal tahun 2001, di salah satu kawasan  mulai muncul perilaku seksual aktif pada usia dini, yaitu di bawah 14 tahun. Setara mencatat ada 12 pasangan, dan satu pasangan diantaranya  masih memiliki hubungan sedarah.
Perilaku seks bebas menyebabkan anak jalanan rentan terhadap ancaman terinveksi PMS dan HIV/AIDS dan bagi anak jalanan perempuan resiko kehamilan menjadi tinggi. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Yayasan Setara pada tahun 1999-2000 menjumpai 20 kasus anak terkena PMS dan beberapa diantaranya sudah parah. Sedangkan tingkat kehamilan anak jalanan perempuan cenderung mengalami peningkatan. Data yang tercatat, pada tahun 1999 diketahui 6 anak mengalami kehamilan dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 8 anak. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh anak untuk menggugurkan kandungannya seperti, minum pil, pijat, jamu, dipukul-pukul perutnya dan berbagai cara yang tidak aman bagi mereka.
Penggunaan drugs
Sebagian besar anak jalanan telah mengkonsumsi minuman keras, pil dan zat-zat adiktif lainnya secara rutin. Ini tidak terbatas pada anak jalanan laki-laki saja melainkan juga anak perempuan. Penelitian Setara (2000) mengungkapkan 62,5% anak jalanan perempuan mengkonsumsi minuman keras dan pil. Menurut Huijben (1999), hal yang mendorong mereka mengkonsumsi karena dianggap sebagai jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Selain itu sebagian anak menggunakannya untuk menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan.
Ada berbagai cara bagi mereka untuk mendapatkan drugs, seperti membeli, meminta, diberi dan merampas. Pada beberapa kasus,  anak mencoba mencari barang-barang yang murah, misalnya mengkonsumsi kecubung dan menghisap lem aica aibon. Mengenai penggunaan lem, berdasarkan pengamatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak awal tahun 1997 terutama di kawasan Poncol. Dibandingkan dengan Bandung, jakarta dan Yogyakarta, yang menyebar dengan cepat ke berbagai lokasi anak jalanan, penyebaran di Semarang tidak cepat meluas. Hanya saja, sejak tahun 2000, penggunaan lem ini sudah menyebar di kawasan Simpang Lima dan pada tahun 2001 menyebar ke kawasan Tugu Muda.
Tindakan kriminal
Tindakan kriminal yang dilakukan anak jalanan secara kuantitas tampaknya meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dengan bentuk yang lebih berani. Sebagai contoh, bila sebelumnya mereka hanya melakukan pemerasan sesama anak jalanan, kini mereka sudah berani melakukan pemerasan, penodongan dan pencopetan ke masyarakat. Mengamati pemberitaan media massa, sejak tahun 2000 kerapkali diberitakan adanya anak jalanan yang ditangkap akibat melakukan tindakan kriminal.
Kegiatan ini tampaknya dipengaruhi pula oleh tingkat persaingan yang tinggi sesama anak jalanan untuk mendapatkan uang sehingga mereka lebih mudah terpengaruh untuk melakukan kegiatan kriminal yang dinilai lebih banyak menghasilkan.
Respon yang Muncul
Sejauh informasi yang diketahui, respon terhadap anak jalanan Semarang untuk pertama kalinya dilakukan oleh seorang pekerja sosial yang bekerja secara personal, Winarso, pada akhir tahun 1993. Program sistematis baru dilaksanakan pada tahun 1996 oleh tim pelaksana “Semarang Street Kids Project” yang pada perkembangannya terlembagakan menjadi Yayasan Setara. Melalui program ini berhasil terbentuk kelompok anak jalanan yang dikenal dengan nama Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS).
Sejak tahun 1997, mulai bermunculan pihak-pihak yang peduli dengan anak jalanan, beberapa diantaranya, sekedar menyebutkan nama,  adalah Yayasan Duta Awam (YDA), Forum Kerjasama Pemerhati Anak jalanan Semarang (FKPAJS), Kelompok Sosial “Garam”, Yayasan Sosial Soegijopranoto (YSS), dan Kelompok sosial “SOLID”. Sedangkan lembaga perguruan tinggi yang terlihat intensif memberikan perhatian kepada anak jalanan yaitu Pusat Studi Wanita dan Gender Universitas Diponegoro. Pada saat ini tampaknya telah semakin banyak NGO, perguruan tinggi, dan kelompok masyarakat sipil lainnya yang peduli dan melaksanakan program untuk anak jalanan.
Sedangkan respon dari pemerintah bisa dikatakan sangat lambat. Ketika issue anak jalanan mulai tumbuh di Semarang pada pertengahan tahun 1996, sikap pejabat negara justru menunjukkan kecurigaan yang tinggi terhadap pihak-pihak yang bekerja bersama anak jalanan. Perubahan mulai tampak ketika pada awal tahun 1998 Departemen Sosial melaksanakan proyek uji-coba bagi penanganan anak jalanan di 12 kota, termasuk Semarang. Proyek ini mendapat dukungan dana dari UNDP. Pada tahun 1999, ADB juga memberikan pinjaman untuk program anak jalanan. Perkembangan lain, pemerintah dalam APBN dan APBD mulai mengalokasikan dana untuk anak jalanan.
Secara umum, program-program yang dilaksanakan masih bersifat karitatif dengan menempatkan anak sebagai obyek, seperti pemberian makan, bantuan kost untuk anak, pemberian modal usaha, kursus ketrampilan, pelayanan kesehatan, pendidikan Paket A dan B, pemberian beasiswa dan sebagainya. Model pendekatan semacam ini pada akhirnya tidak tepat sasaran dan cenderung memunculkan ketergantungan anak. Pada sisi yang lain, sejauh ini institusi yang bergerak dengan menggunakan perspektif hak-hak anak masih sedikit. Tentu saja kenyataan ini belum mendukung penuh upaya penegakan hak-hak anak yang menempatkan anak sebagai manusia utuh.
Selintas Pengalaman Bekerja Bersama Anak Jalanan

Program yang dilaksanakan Yayasan Setara merupakan kelanjutan dari kerja personal seorang pekerja sosial sejak tahun 1993 yang kemudian berkembang menjadi tim kerja pada tahun 1996 melalui “Semarang Street Kids Project” yang mendapat dukungan dana dari Terre des Hommes Germany. Sejak Agustus 2000, program ini dilengkapi dengan program “Basic Sosial Services” yang dilaksanakan oleh 7 NGO atas dukungan dana dari NOVIB Netherland. Pengalaman yang diungkap secara ringkas berupaya untuk mencakup kedua program tersebut.
Dasar kerja Yayasan Setara bersandarkan pada Konvensi Hak-hak Anak dan instrumen internasional yang berhubungan dengan anak (jalanan). Dengan demikian, dalam setiap program Yayasan Setara berupaya untuk melaksanakan prinsip dasar KHA, yaitu Memberikan yang terbaik bagi anak, non-diskriminasi, Memberikan perlindungan dan Menghargai opini anak (partisipasi).
Program diarahkan bagi upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan anak jalanan. Upaya pencegahan dimaksudkan agar anak-anak yang dinilai rentan menjadi anak jalanan tidak terdorong/didorong menjadi anak jalanan. Dalam konteks ini, sasaran yang dituju adalah anak-anak di daerah perkampungan miskin Semarang yang menjadi basis anak jalanan.
Pendekatan yang digunakan adalah community based dengan prioritas utama melibatkan para orangtua anak. Upaya perlindungan dimaksudkan agar anak tidak menjadi korban berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi. Sasaran kegiatan adalah anak jalanan, komunitas jalanan, dan publik. Sedangkan upaya pemulihan dimaksudkan agar anak dapat mengembangkan kapasitasnya dan dapat keluar dari dunia jalanan.
Pendekatan program yang digunakan adalah street based, center based dan community based. Sedangkan pola hubungan yang digunakan para pendamping dengan anak adalah pendekatan informal yang menitikberatkan pada upaya membangun hubungan perkawanan sehingga tercipta hubungan antar subyek dengan menjadikan masalah sebagai obyeknya. Para pendamping berbaur dan turut merasakan dan melalui kehidupan bersama mereka.
Sejak July 1996-December 2000, total kumulatif anak yang terfasilitasi dalam program Yayasan Setara sekitar 600 anak jalanan berumur di bawah 18 tahun yang berada di tiga kawasan yaitu Kawasan Tugu Muda, Pasar Johar dan Simpang Lima.
Beberapa kegiatan yang dijalankan, diantaranya yaitu;

Pelayanan langsung

  • Fasilitasi rumah singgah dan shelter
  • Pendidikan hadap masalah, hak anak dan kesehatan
  • Mendorong anak pulang
  • Perlindungan
  • Pelayanan kesehatan
  • Mempersiapkan masa depan anak

Kampanye dan membangun support system

  • Penyelenggaraan diskusi/seminar
  • Dialog dengan Pemda, DPRD, dan pihak Kepolisian.
  • Membangun dialog antara anak jalanan, pemerintah, DPRD dan Kepolisian
  • Mengembangkan Forum Orangtua anak
  • Monitoring kekerasan terhadap anak jalanan
  • Penerbitan
Hambatan dan Tantangan
“Niat baik belum tentu menghasilkan yang terbaik”, demikian petikan puisi dari seorang kawan. Perjalanan pelaksanaan program anak jalanan tidak bisa berlangsung mulus. Hambatan dan tantangan terberat yang harus dihadapi justru sikap dan tindakan dari penyelenggara negara.  Ketika pertengahan tahun 1996 dibuka rumah untuk anak jalanan, berbagai teror harus dihadapi oleh para pekerja sosial, anak-anak jalanan dan pemilik rumah yang disewa. Bentuk teror melalui telpon gelap, penculikan terhadap seorang pekerja sosial, interogasi oleh pihak kepolisian, datangnya orang-orang tak dikenal yang mengancam, hingga perusakan rumah oleh sekelompok orang tak dikenal pada September 1997 yang menyebabkan untuk beberapa tahun diputuskan agar tidak membuka open house/shelter dulu. Pada akhir 1997, ketika rumah sudah tidak digunakan lagi dan ada beberapa orang tewas akibat minuman keras di sekitar bekas shelter, Walikota saat itu langsung menuduh bahwa rumah anak jalanan digunakan untuk bermabuk-mabukan. Di tengah sulitnya melakukan kegiatan secara terbuka, muncul lagi pernyataan dari seorang pejabat pemerintah kota yang melarang PAJS untuk melakukan kegiatan karena dianggap sebagai organisasi liar (Wawasan, 4 April 1998).
Penutup
Demikian selintas situasi anak jalanan dan pengalaman penanganannya yang dilakukan oleh Yayasan Setara. Semoga informasi ini dapat berguna dan dapat memunculkan inspirasi dari Program Studi Psikologi Universitas Diponegoro untuk turut memikirkan upaya penanganan anak jalanan dan mendorong keterlibatan para psikolog untuk bekerja bersama anak jalanan. Saya yakin, tentunya itu akan sangat berguna bagi upaya transformasi kehidupan anak jalanan khususnya di Semarang.
Semarang, 4 Mei 2001
Tulisan sebagai bahan sharing dalam acara “Lokakarya Kurikulum Pendidikan Sarjana Psikologi 2001 dan Program Profesi Psikolog”, Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Program Studi Psikologi, Ungaran,  4-5 Mei 2001

Sumber : http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/01/04/anak-jalanan-studi-kasus-atas-persoalan-sosial/

0 komentar: