Pembelajaran Pendidikan Jasmani Bagi Anak dengan Kebutuhan Khusus: Tinjauan Terhadap Aspek-aspek yang belum Mendapat Penekanan*

Senin, 17 Mei 2010

The purpose of this research was to know the aspects of physical education program for student with special need which have not been impemented.
The research was conducted at several school wih diffable in Surakarta during 2002 employing the need assesment.
Research data was collected by using a interview and documentary analysis. Descriptive analysis used was to analyze the data obtained.
The result of the data analysis concluded that: (1) Program of physical education for student with special need were conducted in reguler and non-reguler school still separated ((by exlusion approach, not inclusion approach); (2) Pendiagnosisan terhadap anak dengan kebutuhan khusus hanya didasarkan pada parameter medis, belum melibatkan parameter lain. (3) Baik sekolah reguler maupun sekolah bagi anak dengan kebutuhan khusus masih menerapkan paradigma bahwa semua anak dipandang sama kondisinya, belum mempertimbangkan dan memperhatikan kebutuhan tiap siswa. (4) Sebagian besar masyarakat, orang tua, guru, atau orang-orang yang terlibat dalam pendidikan anak dengan kebutuhan khusus masih memandang bahwa anak tersebut tidak memiliki potensi dan menganggap anak tersebut cacat selamanya. (5) Dalam menangani dan mendidik anak dengan kebutuhan khusus lebih banyak menekankan pada kebutuhan dan keinginan guru daripada kebutuhan dan keinginan anak. (6) Penanganan pendidikan anak dengan kecacatan seringkali masih didekati dengan pendekatan yang bersifat parsial, yakni hanya didekati dengan sudut padang atau disiplin tertentu. (7) Pembelajaran pendidikan jasmani hanya melibatkan keterampilan gerak kasar (Gross skill), yakni melibatkan otot-otot besar. (8) Pembelajaran pendidikan jasmani yang diselenggarakan selama ini lebih menekankan pada pencapaian tujuan aspek fisik atau psikomotor.
Key Words: Pembelajaran, Pendidikan Jasman, Anak dengan Kebutuhan khusus.
*
**Tenaga Pengajar pada Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan FKIP UNS
***Tenaga Pengajar pada Fakultas Kedokteran UNS

PENDAHULUAN
Berdasarkan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Ayat ini memiliki beberapa implikasi terhadap pembangunan dalam bidang pendidikan, antara lain adalah: (1) karena pengajaran merupakan hak warga negara, maka ada suatu kewajiban (dari pemerintah, masyarakat, dan lain-lain) untuk memenuhi kebutuhan tersebut; dan (2) karena pengajaran merupakan hak warga negara, maka tidak ada deskriminasi atau pembedaan bagi tiap warga negara dalam mendapatkan pengajaran.
Untuk itu, semua anak termasuk anak dengan kebutuhan khusus, maka sama-sama memiliki hak yang sama dalam memperoleh pengajaran. Implikasinya adalah bagaimana bentuk dan upayanya dalam memberikan pelayanan yang adil dan fair terhadap semua anak.
Kebutuhan khusus digunakan sebagai nama lain yang telah berkembang selama ini, seperti anak cacat, anak penyandang cacat, anak dengan kecacatan, anak tidak normal, anak dengan kebutuhan khusus dan lain-lain.
Istilah anak dengan kebutuhan khusus dipandang lebih tepat, karena istilah tersebut dapat digunakan baik di antara anak normal maupun antara anak normal dengan anak tidak normal.
Hingga kini penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih perlu banyak pembenahan dan peningkatan, termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus.
Para guru sering menghadapi anak-anak yang memiliki kondisi fisik atau mentalnya lemah, terbatas kemampuannya untuk ikut serta dalam kegiatan pendidikan jasmani. Pada umumnya anak-anak ini digolongkan sebagai anak yang lemah atau cacat.

Dalam kenyataannya guru sering kali dihadapkan pada kondisi apakah anak tersebut dapat diikutsertakan dengan teman-temannya yang lain atau tidak. Bahkan tidak jarang guru mengambil jalan pintas, anak-anak tersebut tidak diikutsertakan dalam kegiatan pendidikan jasmani, dengan berbagai alasan, seperti anak nanti tidak mampu bergerak seperti temannya, mengganggu temannya, kasihan kalau cidera, dan lain-lain.
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan kebutuhan khusus dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui pendidikan jasmani dan olahraga. Manfaat pendidikan jasmani dan olahraga telah teruji dalam upaya memberdayakan manusia hingga kini. Untuk itu, diperlukan adanya model sebagai upaya pengembangan pemberdayaan anak dengan kebutuhan khusus melalui pendidikan jasmani. Salah satu bentuk program pendidikan jasmani yang sesuai dengan anak dengan kebutuhan khusus adalah program pendidikan jasmani adaptif (disesuaikan). Arma Abdullah (1996: 3) mengemukakan bahwa pendidikan jamani adapatif adalah pendidikan melalui program aktivitass jasmani yang dimodifikasi untuk memungkinkan individu dengan kelainan memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dengan aman, sukses, dan memperoleh kepuasan.
Pendidikan jasmani memiliki peran dan makna yang sangat berharga bagi anak dengan kebutuhan khusus. Manfaat pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus bukan hanya pada aspek fisik atau psikomotor, melainkan juga bermanfaat pada pengembangan aspek kognitif, afektif maupun sosial. Bucher (1979:114) mengemukakan manfaat pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus, yaitu: (1) membantu mengenali kelainannya dan mengarahkannya pada penanganan yang sesuai; (2) memberi kebahagiaan bagi orang yang tidak normal; (3) memberi pengalaman bermain yang menyenangkan; (4) membantu anak mencapai kemampuan dan latihan fisik sesuai dengan keterbatasannya; (5) memberi banyak kesempatan mempelajari keterampilan yang sesuai dengan anak-anak yang memiliki kelainan untuk meraih sukses; dan (6) berperan bagi kehidupan yang lebih produktif bagi anak dengan kebutuhan khusus dengan mengembangkan kualitas fisik yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan hidup sehari-hari.
Bucher (1979: 123-134) mengklasifikasikan anak yang memerlukan penanganan melalui pendidikan jasmani dan olahraga berdasarkan kebutuhannya ke dalam: (1) siswa yang berhambatan secara fisik; (2) siswa yang terhambat secara mental; (3) siswa siswa bergangguan emosional; (4) siswa yang tidak diuntungkan secara kultural; (5) siswa yang tidak memiliki koodinasi yang baik; dan (6) siswa yang berbakat dan kreatif
Pate, Rotella, dan McClenaghan (1984: 352) mengemukakan bahwa olahragawan lemah adalah seseorang yang karena sebagian kondisi organis atau fungsional, terbatas kemampuannya dalam mengikuti beberapa kegiatan yang berhubungan dengan olahraga. Orang yang lemah tersebut seringkali dapat diikutsertakan dalam olahraga tertentu dengan sedikit perubahan.
Anak dengan kebutuhan khusus, khususnya anak yang lemah seharusnya diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan olahraga reguler bilamana mungkin. Seringkali hal ini dapat segera dipenuhi tanpa perubahan besar pada program tersebut. Biasanya siswa yang lemah dapat lebih mudah dimasukkan dalam olahraga perorangan daripada beregu.
Selanjutnya, Pate, Rotella, dan McClenaghan (1984: 352) banyak sekali orang-orang cacat telah dapat ikut serta dengan berhasil dalam berbagai cabang olahraga. Dalam beraktivitas dengan siswa penyandang cacat guru harus lebih memusatkan perhatian pada kemampuannya daripada kekurangannya. Banyak contoh menunjukkan bahwa seorang yang lemah dapat atau seharusnya dimasukkan dengan berhasil dalam program olahraga reguler. Pengetahuan menyeluruh tentang kelemahan dan catatan kesehatan serta pengamatan pada kemampuan olahraga orang tersebut membuat pelatih dapat dengan tepat menilai potensinya agara dapat mengikuti program olahraga reguler dengan berhasil.
Ada kebutuhan untuk memikirkan metode-metode apa yang paling efektif dalam mengajar anak dengan kebutuhan khusus. Metode ini juga beragam sesuai dengan sifat hambatan siswa Puthoff dalam Bucher (1979: 123) mengemukakan empat strategi pembelajaran yang dapat digunakan dalam mengajar pendidikan jasmani kepada siswa dengan kebutuhan khusus, yaitu (1) modifikasi Isi; (2) modifikasi tingkat belajar; (3) pilihan gaya mengajar/belajar; (4) mengatur latar lingkungan kelas internal
Berdasarkan penerapan dan kenyataan pelaksanaan pembelajaran yang ada, maka timbul pertanyaan, program-program apa sajakah yang dibutuhkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus? atau aspek-aspek apa saja yang belum mendapat penekanan atau perhatian dalam pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus?.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang dilakukan melalui kajian yang didasarkan pada analisis kebutuhan, maka langkah awal yang dilakukan adalah dengan melakukan identifikasi permasalahan. Oleh karena itu, dalam pengembangan program pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus terlebih dahulu dilakukan survei untuk menganalisis kebutuhan. Berdasarkan analisis kebutuhan, maka akan diperoleh informasi tentang kesenjangan-kesenjangan yang ada, dan selanjutnya ditetapkan prioritas kebutuhan akan adanya suatu program pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus. Dalam hal ini, kebutuhan digambarkan sebagai suatu kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada saat ini.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Surakarta dan sekitarnya, yaitu di beberapa Sekolah dan Lembaga Pendidikan Luar Biasa dan Olahraga Cacat pada tahun 2002. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah teknik wawancara dan analisis dokumen, sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskriptif analitik. Data yang telah terkumpul, selanjutnya diolah dan dianalisis dengan menghubungkan antara satu komponen dengan komponen lain secara sistematik dan sistemik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan beberapa hasil penelitian. Temuan ini terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek yang belum mendapat perhatian atau penekanan dalam pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus.
1.
Pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus diterjemahkan dengan “Sekolah khusus” (Special school), artinya penyelenggaraannya dikhususkan atau disendirikan sehingga terpisah dengan anak lain.. Hal ini tentu akan berimplikasi yang berbeda dari yang seharusnya dalam menangani anak dengan kebutuhan khusus. Pada dasarnya anak dengan kebutuhan khusus dikategrorikan sebagai anak dengan “Kebutuhan khusus” (Special need). Oleh karena itu, pembelajarannya juga melalui pendekatan “Pendidikan khusus” (Special education), bukan “sekolah khusus” tetapi dengan penerapan pembelajaran melalui “Berbagai bentuk pembelajaran”.
2.
Adanya keterbatasan parameter dalam mendiagnosis anak dengan kebutuhan khusus. Pada umumnya hanya didasarkan pada parameter medis. Padahal seharusnya dalam memposisikan anak dengan kebutuhan khusus harus didiagnosis dan didasarkan pada sudut pandang atau parameter yang menyeluruh dalam konteks pendidikan, misalnya mempertimbangkan aspek psikologis, dan latar belakang anak.
3.
Hingga kini sekolah-sekolah yang ada, baik sekolah reguler maupun sekolah bagi anak dengan kebutuhan khusus masih menerapkan paradigma bahwa semua anak dipandang sama kondisinya, belum mempertimbangkan dan memperhatikan kebutuhan tiap siswa. Seharusnya sekolah dapat berfungsi sebagai “Restoran” yang menyajikan berbagai menu masakan yang disesuaikan dengan kebutuhannya.
4.
Dalam kenyataannya, penanganan pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus yang diselenggarakan di sekolah-sekolah, anak justru dipisahkan dari dunianya, yaitu dunia anak pada umumnya. Artinya anak tersebut tidak diposisikan sebagai anak yang nantinya juga akan hidup dalam lingkungan yang normal. Penanganan pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, di samping anak tersebut harus diperhatikan dari sudut kebutuhan khususnya. Oleh karena itu, pendekatannya harus bersihat “Inklusi” bukan “Ekslusi”.
5.
Selama ini pandangan masyarakat, orang tua, guru, atau orang-orang yang terlibat dalam pendidikan anak dengan kebutuhan khusus memiliki pandangan bahwa kecacatan bersifat “Kondisional” bukan “Situasional”, sehingga kecacatan yang melekat pada anak menjadi label yang tidak pernah lepas dari anak. Dengan labelisasi kecacatan yang bersifat kondisional tersebut akan berimplikasi terhadap sikap dan tindakan terhadap penanganan pendidikan. Oleh karena iu, anak dengan kebutuhan khusus harus dipandang sebagai sesuatu yang bersifat situasional. Artinya anak dengan kebutuhan khusus adalah karena situasinya bukan kondisinya, karena anak tersebut juga memiliki potensi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak dengan kebutuhan khusus adalah anak yang dipandang sebagai suatu keutuhan dan keseluruhan.
6.
Dalam menangani dan mendidik anak dengan kebutuhan khusus lebih banyak menekankan pada kebutuhan dan keinginan guru daripada kebutuhan dan keinginan anak. Sebagai akibatnya dalam implementasi pembelajaran anak lebih banyak mengikuti dan menuruti kemauan guru daripada kebutuhan dan keinginan anak. Oleh karena itu, pendekatannya harus disesuaikan dengan dunia anak, yaitu disesuaikan dengan perumbuhan dan perkembangan anak serta karakteristik kekhususan anak.
7.
Penanganan pendidikan anak dengan kebutuhan khusus seringkali masih didekati dengan pendekatan yang bersifat parsial, yakni hanya didekati dengan sudut padang atau disiplin tertentu. Dengan segala kerbatasannya, maka anak dengan kebutuhan khusus harus didekati dengan pendekatan yang membutuhkan perhatian total (Total care).
8.
Adanya pandangan atau persepsi bahwa pembelajaran pendidikan jasmani hanya melibatkan keterampilan gerak kasar (Gross skill), yakni melibakan otot-otot besar. Jika pandangan ini yang digunakan sebagai dasar, maka akan berakibat bahwa hanya anak dengan kebutuhan khusus tertentu saja yang dapat melakukan dan mengikui pembelajaran pendidikan jasmani. Padahal pembelajaran pendidikan jasmani dapat juga dilakukan dengan melibatkan keterampilan otot halus (Fine skill)
9.
Adanya pandangan atau persepsi bahwa anak dengan kebutuhan khusus harus disendirikan atau dipisahkan dengan anak reguler. Padahal setiap anak atau manusia baik dengan atau tanpa kekhususan memiliki kebutuhan dan tuntutan yang bersifat general maupun spesifik.
10.
Pembelajaran pendidikan jasmani yang diselenggarakan selama ini lebih menekankan pada pencapaian tujuan aspek fisik atau psikomotor, sehingga aspek-aspek lain yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan cenderung diabaikan. Padahal pembelajaran pendidikan jasmani dapat diarahkan pada upaya pengembangan aspek mental, emosional, spiritual, maupun sosial.
11.
Masih dirasakan adanya pandangan atau persepsi bahwa anak dengan kebutuhan khusus sebagai anak yang tidak atau kurang utuh. Pada dasarnya manusia dibangun oleh komponen-komponen utama, yaitu kognitif, motorik, afektif, dan emosional. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi dan saling mempengaruhi antara komponen yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, anak dengan kebutuhan khusus harus dipandang secara utuh sebagai suatu totalias sistem, yaitu manusia sebagai sistem bio-psiko-sosio-kultural.
KESIPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka dapat disampaikan beberapa kesimpulan dan saran.
Kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah (1) Pendekatan pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus belum menerapkan pendekatan pembelajaran dengan berbagai bentuk pembelejaran yang disesuaikan dengan kondisi tiap anak. (2) Adanya keterbatasan parameter dalam mendiagnosis anak dengan kebutuhan khusus. Pada umumnya hanya didasarkan pada parameter medis. (3) Baik sekolah reguler maupun sekolah bagi anak dengan kebutuhan khusus masih menerapkan paradigma bahwa semua anak dipandang sama kondisinya, belum mempertimbangkan dan memperhatikan kebutuhan tiap siswa. (4) Penanganan pembelajaran bagi anak dengan kebutuhan khusus yang diselenggarakan di sekolah-sekolah, anak justru dipisahkan dari dunianya, yaitu dunia anak pada umumnya. Pendekatannya masih bersifat “Ekslusi” belum menerapkan pendekatan “Inklusi”. (5) Selama ini pandangan masyarakat, orang tua, guru, atau orang-orang yang terlibat dalam pendidikan anak dengan kebutuhan khusus memiliki pandangan bahwa kecacatan bersifat “Kondisional” bukan “Situasional”, sehingga kecacatan yang melekat pada anak menjadi label yang tidak pernah lepas dari anak. (6) Dalam menangani dan mendidik anak dengan kebutuhan khusus lebih banyak menekankan pada kebutuhan dan keinginan guru daripada kebutuhan dan keinginan anak. (7) Penanganan pendidikan anak dengan kebutuhan khusus seringkali masih didekati dengan pendekatan yang bersifat parsial, yakni hanya didekati dengan sudut padang atau disiplin tertentu. (8) Pembelajaran pendidikan jasmani hanya melibatkan keterampilan gerak kasar (Gross skill), yakni melibatkan otot-otot besar. (9) Pembelajaran pendidikan jasmani yang diselenggarakan selama ini lebih menekankan pada pencapaian tujuan aspek fisik atau psikomotor.
Selanjutnya, berdasarkan kesimpulan tersebut dapat diajukan beberapa saran, (1) Perlunya penerapan pembelajaran dengan pendekatan inklusi, bukan eksklusi. (2) Dalam mendiagnosis anak dengan kebutuhan khusus hendaknya didekati dari berbagai sudut pandang. Dengan pendekatan ini diharapkan akan diperoleh data yang akurat, sehingga dalam mengidentifikasi kekhususan maupun aspek lain juga akurat, dan sebagai akibatnya dalam penanganan pembelajarannya pun juga tepat. (3) Perlunya sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan tiap anak, yakni yang disesuaikan dengan karakteristik kekhususan dan latar belakang anak. (4) Dari segi materi, program pendidikan jasmani bagi anak dengan kebutuhan khusus hendaknya tidak hanya menekankan aspek fisik atau psikomotor, tetapi yang berorientasi pada aspek-aspek lain, seperti aspek kognitif dan afektif. (5) Perlunya dipersiapkan dan disusun program pembelajaran pendidikan jasmani yang bersifat variatif. Artinya program pembelajaran tersebut tidak hanya berisi aktivitas gerak yang melibatkan keterampilan gerak kasar, tetapi juga berisi keterampilan gerak halus. (6) Melihat karakteristik kecacatan dan kompleksitas yang dihadapi anak dengan kebutuhan khusus, maka dalam menangani dan mendidik diperlukan tenaga pendidik yang khusus dan handal yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut, bukan sekedar guru biasa, seperti halnya guru-guru di sekolah reguler. (7) Perlunya dibangun persepsi yang sama dalam menangani dan mendidik anak dengan kebutuhan khusus, baik oleh keluarga, pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sosialisasi mengenai pendekatan penanganan dan pendidikan yang benar terhadap anak dengan kebutuhan khusus perlu dilakukan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Arma (1996). Pendidikan Jasmani Adapif. (Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan, Diretora Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik).
Bucher, Charles A. (1979). Administration of Physical Education & Athletics Programs. St. Louis: The C.V. Mosby Company.
Pate, Russell R., Robert Rotella, and Bruce McClenaghan, Scientific Foundations of Coaching (New York: Saunders College Publishing, 1984).
Rejeski, W. Jack and Focht, Brian C. (2002). “Aging and Physical Disability: On Integrating Group and Individual Counseling with the Promotion of Physical Activity”, Exercise and Sport Science Reviews, Volume 30. Number 4. October 2002 (The American Colleges of Sports Medicine).

0 komentar: