Potensi Individu Autistik Bisa Dikembangkan Optimal

Jumat, 02 April 2010

DEPOK, SELASA - Individu autistik selama ini dianggap sebagai abnormal, kondisi yang buruk dan harus dihilangkan, sehingga dalam penanganannya cenderung keliru.  Makanya, tak mengherankan, usaha-usaha untuk memahami spektrum autistik selalu menyisakan tanda tanya dan misteri. Padahal, kalau dipahami dengan perspektif yang berbeda, seperti dengan presumption of competence, maka potensi kreatif individu austistik bisa dikembangkan secara mengagumkan.
Demikian pemikiran yang mengemuka dalam orasi ilmiah psikolog Dr Adriana S Ginanjar MS, pada Dias Natalis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Selasa (3/3) di kampus UI, Depok. Tesis pemikiran itu berdasarkan pengalaman panjang Adriana yang memiliki anak autistik dan mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak autistik.

"Anak autistik mesti dipandang sebagai sebuah perbedaan dan bukan sebagai abnormal. Penanganannya harus lebih difokuskan untuk mengenali dan mengembangkan potensi mereka. Karena, walaupun memiliki sejumlah kekurangan, masing-masing anak autistik memiliki potensi-potensi kreatif. Kemampuan yang menonjol pada bidang tertentu. Di samping itu, interaksi dan proses belajar-mengajar perlu didasari oleh penerimaan dan empati, agar terjalin hubungan yang dilandasi rasa percaya, rasa aman, dan penghargaan tanpa syarat, yang amat penting dalam membantu perkembangan emosi dan interaksi sosial mereka," katanya.
Menurut Adriana, selama ini penanganan anak-anak autistik mengikuti perkembangan penanganan di negara-negara barat. Memang, pemberian penanganan secara terpadu, intensif, dan dimulai sejak usia dini memberikan hasil yang positif, yaitu membantu anak-anak autistik untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan belajar berbagai kemampuan kognitif.

Sayangnya, sebagian besar penanganannya lebih menekankan pada kekurangan atau defisit dan berusaha mengarahkan mereka menjadi seperti anak-anak normal.
Ada dua kelemahan yang ditemukan Adriana dalam penanganan yang mengarahkan anak-anak autistik menjadi seperti anak-anak normal, yaitu, pertama, kriteria anak normal merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan.
Bahkan, sampai saat ini belum ada titik temu dari berbagai pandangan tentang tingkah laku normal dan abnormal. Defenisi normal amat terikat pada konteks budaya, konteks sosial, dan dimensi waktu, sehingga tidak dapat digeneralisasi begitu saja. Kedua, pemberian label abnormal berdampak negatif pada perkembangan psikologis mereka.
Pandangan tentang austime sebagai abnormalitas ditolak keras oleh para individu autistik. Mereka merasa sangat tidak nyaman bila dipandang sebagai individu yang tidak normal, serta hanya dinilai berdasarkan defisit yang dimiliki. "Mereka juga tidak menginginkan diri mereka diubah menjadi individu normal," paparnya.
Psikolog Adriana berpendapat, kompleksitas autisme yang terungkap melalui serangkaian penelitian disertasi yang ia lakukan, menunjukkan bahwa untuk dapat memahami individu autustik dibutuhkan kerangka berpikir holistik, yaitu yang memandang setiap individu sebagai kesatuan dari taraf-taraf sensorik, kognitif, emosi, interaksi sosial, serta agama dan spiritualitas.
Belajar dari kisah sukses individu autistik, demikian Adriana, cara terbaik memahami mereka adalah dengan berusaha mengenali mereka tanpa predisposisi tertentu, apalagi membandingkan mereka d engan individu normal. "Kita harus menggunakan perspektif holistik dan positif, yaitu memandang mereka sebagai individu yang utuh dan memiliki potensi-potensi kreatif," tandas.

Sumber : Kompas

0 komentar: