Teori Produk Kreatif

Minggu, 04 April 2010

Pada pribadi yang kreatif, bila memiliki kondisi pribadi dan lingkungan yang memberi peluang bersibuk diri secara kreatif (proses), maka dapat diprediksikan bahwa produk kreatifnya akan muncul.
1. Cropley (1994) menunjukkan hubungan antara tahap-tahap proses kreatif dari Wallas (persiapan, inkubasi, iluminasi, verifikasi) dan produk yang psikologis yang berinteraksi :
hasil berpikir konvergen -> memperoleh pengetahuan dan ketrampilan, jika dihadapkan dengan situasi yang menuntut tindakan yaitu pemecahan masalah ->individu menggabungkan unsur-unsur mental sampai timbul “ konfigurasi”. Konfigurasi dapat berupa gagasan, model, tindakan cara menyusun kata, melodi atau bentuk.
Pemikir divergen (kreatif) mampu menggabungkan unsur-unsur mental dengan cara-cara yang tidak lazim atau tidak diduga. Konstruksi konfigurasi tersebut tidak hanya memerlukan berpikir konvergen dan divergen saja, tetapi juga motivasi, karakteristik pribadi yang sesuai (misalnya keterbukaan terhadap pembaruan unsur-unsur sosial, ketrampilan komunikasi). Proses ini disertai perasaan atau emosi yang dapat menunjang atau menghambat.
2. Model dari Besemer dan Treffirger
Besemer dan Treffirger menyarankan produk kreatif digolongkan menjadi 3 kategori :
1. Kebaruan (novelty)
Kebaruan : sejauh mana produk itu baru, dalam hal jumlah dan luas proses yang baru, teknik baru, bahan baru, konsep baru, produk kreatif dimasa depan.
Produk itu orisinal : sangat langka diantara produk yang dibuat orang dengan pengalaman dan pelatihan yang sama, juga menimbulkan kejutan (suprising) dan juga germinal (dapat menimbulkan gagasan produk orisinal lainnya
2. Pemecahan (resolution)
Menyangkut derajat sejauh mana produk itu memenuhi kebutuhan untuk mengatasi masalah.
Ada 3 kriteria dalam dimensi ini :
-          produk harus bermakna
-          produk harus logis
-          produk harus berguna (dapat diterapkan secara praktis).
3. Keterperincian (elaboration) dan sintesis
Dimensi ini merujuk pada derajat sejauh mana produk itu menggabungkan unsur-unsur yang tidak sama / serupa menjadi keseluruhan yang canggih dan koheren.
Ada 5 kriteria untuk dimensi ini :
-          produk itu harus organis (mempunyai arti inti dalam penyusunan produk)
-          elegan, yaitu canggih (mempunyai nilai lebih dari yang tampak)
-          kompleks, yaitu berbagai unsur digabung pada satu tingkat atau lebih
-          dapat dipahami (tampil secara jelas)
-          menunjukan ketrampilan atau keahlian
Produk itu tidak perlu menonjol dalam semua kriteria. Sebagai contoh tabel dibawah ini yaitu Penilaian Dacey (1989) terhadap tingkat kreativitas penemuan Graham Bell tentang penemuan pesawat telepon.

Sumber : Disini

Teori Proses Kreatif : Belahan Otak Kanan dan Kiri

Perkembangan kreativitas sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif individu karena kreativitas sesungguhnya merupakan perwujudan dari pekerjaan otak. Para pakar kreativitas, misalnya Clark (1988) dan Gowan (1989) melalui Teori Belahan Otak (Hemisphere Theory) mengatakan bahwa sesungguhnya otak manusia itu menurut fungsinya terbagi menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kiri (left hemisphere) dan belahan otak kanan (right hemisphere). Otak belahan kiri mengarah kepada cara berfikir konvergen (convergen thinking), sedangkan otak belahan kanan mengarah kepada cara berfikir menyebar (difergent thinking).

Sejak anak lahir, gerakannya belum berdifensiasi, selanjutnya baru berkembang menjadi pola dengan kecenderungan kiri atau kanan. Hampir setiap orang mempunyai sisi yang dominan. Pada umunya orang lebih biasa menggunakan tangan kanan (dominasi belahan otak kiri), tetapi ada sebagian orang kidal (dominan otak kanan). Terdapat “dichotomia” yang membagi fungsi mentala menjadi fungsi belahan otak kanan dan belahan otak kiri.
Teori ini walaupun didukung data empiris, namun masih memerlukan pengkajian lebih lanjut (Dacey, 1989 : Piirto 1992).

DIKOTOMI FUNGSI MENTAL

Belahan Otak Kiri Belahan Otak Kanan
Intelek Intuisi
Konvergen Divergen
Intelektual Emosional
Rasional Metaforik, intuitif
Verbal Non Verbal
Horizontal Vertikal
Konkret Abstrak
Realistis Impulsif
Diarahkan Bebas
Diferensial Eksistensial
Sekuensial Multipel
Historikal Tanpa Batas Waktu
Analitis Sintesis, Holitik
Eksplisit Implisit
Objektif Subjektif
Suksesif Simultan
Sumber : Springer, S.P dan Deutsch, 1981

Sumber :  Disini

Teori Proses Kreatif : Wallace

TEORI WALLACE
Wallace dalam bukunya “The Art of Thought” menyatakan bahwa proses kreatif    meliputi 4 tahap :

  1. Tahap Persiapan, memperisapkan diri untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan data/ informasi, mempelajari pola berpikir dari orang lain, bertanya kepada orang lain.
  2. Tahap Inkubasi, pada tahap ini pengumpulan informasi dihentikan, individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut. Ia tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya’ dalam alam pra sadar.
  3. Tahap Iluminasi, tahap ini merupakan tahap timbulnya “insight” atau “Aha Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru.
  4. Tahap Verifikasi, tahap ini merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru tersebut terhadap realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan konvergen. Proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti proses konvergensi (pemikiran kritis).
Sumber : Disini.

Teori Pendorong Internal dan Eksternal

Kreatifitas agar dapat terwujud diperlukan dorongan dari individu (motivasi intrinsik) maupun dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik).

* Motivasi Intrinsik dari Kreatifitas

Setiap individu memiliki kecenderungan atau dorongan mewujudkan potensinya, mewujudkan dirinya, dorongan berkembang menjadi matang. Dorongan mengungkapkan dan mengaktifkan semua kapasitasnya. Dorongan ini merupakan motivasi primer untuk kreatifitas ketika individu membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya sepenuhnya (Rogers dan Vernon, 1982).


* Kondisi Ekstrinsik Yang Mendorong Perilaku Kreatif

Kreatifitas memang tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dimungkinkan untuk tumbuh, bibit unggul memerlukan kondisi yang memupuk dan memungkinkan bibit itu mengembangkan sendiri potensinya. Bagaimana cara menciptakan lingkungan eksternal yang dapat memupuk dorongan dalam diri anak (internal) untuk mengembangkan kreatifitasnya?

Menurut pengalaman Carl Rogers dalam psikoterapi adalah dengan menciptakan kondisi keamanan dan kebebasan psikologis.

Lingkungan Buruk Picu Kasus Autis

Jumat, 02 April 2010

Jakarta, Pencemaran udara dan air yang terus meningkat dari tahun ke tahun telah menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup secara umum dan kesehatan masyarakat. Salah satu dampak negatif dari tingginya pencemaran udara adalah meningkatnya kasus penyakit autis dan terjadinya hujan asam di beberapa daerah.
Hal ini diungkapkan Deputi VII Bidang Pembinaan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup, Masnellyarti Hilman, pada peluncuran laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) tahun 2003 di Jakarta, Selasa (26/10).
Hadir pada acara peluncuran Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, yang menyerahkan sertifikat bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota terbaik dalam membuat laporan SLHI 2003.
Dari 14 provinsi yang menyerahkan dokumen Status Lingkungan Hidup Daerah yang terpilih terbaik adalah Riau, Bali, dan DKI Jakarta. Adapun untuk tingkat pemerintah kota dari enam kota terpilih Samarinda, Denpasar, dan Sabang. Untuk tingkat kabupaten, dari 12 laporan yang masuk yang terbaik adalah Bengkalis, Garut, Nunukan, dan Banjar.

Autisme, bisa Disembuhkan

FAKTOR GENETIK dianggap sebagai satu-satunya penyebab autisme sehingga penderitanya dianggap tidak bisa disembuhkan namun bukti-bukti yang sekarang muncul menunjukkan ada peluang untuk penyembuhan karena gangguan itu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik melainkan juga dipengaruhi faktor lingkungan.

Pada peringatan Hari Peduli Autisme Sedunia di Jakarta, Rabu (2/4), dr. Melly Budiman SpKJ dari Yayasan Autisma Indonesia mengatakan hal itu juga menunjukkan adanya peluang penyembuhan dan perbaikan kondisi bagi penyandang autisme.
  
"Autisme memengaruhi otak dan tubuh. Jika gangguan pada tubuh dapat disembuhkan maka itu akan membantu memperbaiki otak pula," katanya dan menambahkan bahwa hal itu didukung pula oleh fakta tentang banyaknya anak autistik yang "menyembuh".

Saling Berbagi dengan Anak Autis

Tepatnya 15 tahun lalu, Any Sonata Bagwanto (41) melahirkan anak pertamanya, Eldwin Raditya Antony atau Adi, yang didiagnosa menderita Autis Spectrum Disorder dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Penyakit ini merupakan gangguan perkembangan yang kompleks pada anak yang membuat Adi menjadi luar biasa hiperaktif.
Berangkat dari pengalamannya yang tidak memiliki tempat untuk berbagi masalah dan kurangnya pengetahuan mengenai autis, beberapa tahun kemudian ia mendirikan Parent Support Group (PSG). "Tingkat stres yang dihadapi ibu-ibu yang anaknya menderita autis sangat tinggi, lho. Bahkan banyak dari mereka yang kepikiran untuk bunuh diri. Saya saja pernah memikirkan itu," ucap Any jujur. Kegiatan PSG diyakini Any mampu menjadikan para orang tua lebih siap secara rohani, jasmani, juga mental dalam mengurus dan mendidik anak mereka yang menderita autis.
"Program PSG tidak sekadar ngumpul dan curhat saja, tapi juga ada diskusi bedah buku, film, atau satu kasus mengenai masalah autis. Kadang saya juga memanggil guru, terapis, atau dokter yang biasa menangani anak autis untuk ngobrol langsung dengan para orang tua."
Biasanya pertemuan diadakan di rumah Any yang berada di daerah Bintaro. Dan jika waktunya memungkinkan, diskusi bisa juga dilakukan di sebuah kafe atau tempat lainnya. Hingga saat ini, tidak begitu banyak orang yang tergabung dalam PSG karena ternyata tidak banyak orang tua yang siap membagikan masalah mereka pada orang lain. Sebagian beranggapan, memiliki anak autis adalah sebuah aib. Sejak berdiri tahun 2001, peserta yang pernah terlibat dalam PSG baru sekitar 50 orang.
"Biasanya, mereka yang tidak siap datang, memilih curhat tertutup melalui telepon. Paling tidak, kami masih bisa saling menguatkan dan informasi seputar autis bisa tersampaikan dengan baik padanya. Atau mereka bisa mendapatkan informasi melalui buletin dwibulanan yang saya kirimkan ke mereka."
Dalam setiap pertemuan, paling tidak ada 10 anggota yang datang. Proses sharing biasanya dibuat bergiliran. Masalah yang dikemukakan masing-masing orang tua tentu saja tidak terlepas dari problem autis yang dialami anak mereka. Seperti masalah pertumbuhan, makanan, mengarahkan minat anak, problem remaja anak autis, dan masih banyak lagi.
Any memang sudah berkomitmen untuk memberikan pengalaman dan pendidikan seputar anak autis pada para orang tua yang senasib dengannya. Ini terlihat dari waktu penuh yang diberikannya pada para orang tua yang ingin sharing dengannya. Entah itu siang atau malam. Bahkan, ia pun rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit, agar program PSG dapat berjalan sesuai dengan visi dan misinya.
"Saya siap membantu dan mendengar setiap keluh kesah mereka. Saya sudah jadikan ini bagian dari hidup. Saya beruntung diberi kelebihan materi oleh Tuhan. Belum lagi perkembangan Adi yang semakin baik dan suami yang selalu mendukung. Padahal, di luar sana banyak ibu yang anaknya autis tapi hidupnya serba kekurangan, karena suaminya yang meninggalkan mereka. Saya sangat beruntung," ungkapnya.

Sumber : Kompas

Hujan dan Autisme Ada Kaitannya?

PENINGKATAN curah hujan diduga memiliki kaitan dengan perkembangan kasus autisme, demikian hasil penelitian yang dimuat Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine.



Dalam penelitiannya, para ahli memperhitungkan rata-rata curah hujan tahunan di California, Oregon dan negara bagian Washington antara 1987 dan 1999, dan kemudian meneliti angka kejadian atau prevalensi kasus austisme dalam pertumbuhan anak selama masa itu.

Hasil kajian menunjukkan, angka austisme lebih tinggi di kalangan anak yang tinggal di negara bagian yang menerima curah hujan lebih tinggi selama tiga tahun pertama mereka. Rata-rata kenaikan kasus autisme tampak meningkat dari satu kasus di antara 2.500 anak menjadi satu di antara 150 anak.

Peneliti berpendapat peningkatan tersebut juga tidak terlepas dari semakin membaiknya kemampuan para dokter mengenali penyakit tersebut.

"Hasil riset kami mengindikasikan adanya pemicu yang berkaitan dengan curah hujan, " ungkap," Michael Waldman, PhD, pimpinan riset dari Institute for the Advancement of Economics, Cornell University, New York

Potensi Individu Autistik Bisa Dikembangkan Optimal

DEPOK, SELASA - Individu autistik selama ini dianggap sebagai abnormal, kondisi yang buruk dan harus dihilangkan, sehingga dalam penanganannya cenderung keliru.  Makanya, tak mengherankan, usaha-usaha untuk memahami spektrum autistik selalu menyisakan tanda tanya dan misteri. Padahal, kalau dipahami dengan perspektif yang berbeda, seperti dengan presumption of competence, maka potensi kreatif individu austistik bisa dikembangkan secara mengagumkan.
Demikian pemikiran yang mengemuka dalam orasi ilmiah psikolog Dr Adriana S Ginanjar MS, pada Dias Natalis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Selasa (3/3) di kampus UI, Depok. Tesis pemikiran itu berdasarkan pengalaman panjang Adriana yang memiliki anak autistik dan mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak autistik.

Anak Autis : Pandanglah Kami Secar Normal

JAKARTA, SELASA — Tak sedikit pun kata keluar dari mulut Sue (28). Tatapannya semata terpaku pada tetesan air yang memenuhi sendok plastik kesayangannya. Ditumpahkannya dan kembali tetesan air kran yang mengalir di satu sudut rumahnya di Amerika Serikat ditadah lagi dengan sendok berwarna putih itu.
Cukup sering Sue sendirian melakukan hal itu. Baginya, aktivitas itu membuatnya tenang dan tenteram. Terkadang, Sue melanjutkannya dengan berdiri di depan pintu masuk rumahnya, meski tak jelas apa yang dilihat, dan bersandar setelahnya.
Ini adalah cuplikan film dokumenter yang berkisah tentang anak autis, digelar dalam orasi ilmiah bertajuk "Perspektif Positif dalam Memahami Autis" oleh Dr Adriana S Ginanjar, MS, dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Selasa (3/3).
Sue hanyalah salah satu dari sekian ratus anak autis di Amerika Serikat. Adapun jumlah anak autis di Indonesia, menurut Adriana, bertambah cukup pesat. Ini terlihat dari makin banyaknya pusat terapi yang menangani anak-anak autis, juga pembahasan di media massa, dan seminar-seminar. Sayangnya, belum ada data resmi dari pemerintah tentang jumlah anak autis.
"Di Amerika Serikat, sekitar satu dari 166 anak yang lahir tergolong anak autis. Nah, sayangnya pemerintah kita belum punya data jumlah anak autis seluruh Indonesia. Padahal ini diperlukan untuk memandang seberapa urgent hal ini harus mendapat perhatian agar anak autis tidak dimasukkan pada sekolah normal, seperti yang saat ini terjadi," terang Adriana.
Lebih lanjut, Adriana memaparkan, faktanya sekolah-sekolah normal ternyata belum mampu menangani anak autis. Cara memasukkan anak autis ke sekolah normal memang memberikan kebanggaan si orangtua bahwa anaknya normal.
"Sementara di lain sisi tidak ada kesiapan dari pihak sekolah dalam menangani anak autis termasuk teman-temannya yang kerap memperlakukan si anak autis dengan cara berbeda," terangnya.
Karena itu, menurut Adriana, perlu penanganan khusus terhadap anak autis. Memang, lanjut Adriana, menangani anak autis tidak mudah. Perlu ada kerja sama lebih baik dari guru dan orangtua yang berorientasi pada pengembangan diri dan menjauhkan anak dari bullying.
Orangtua perlu serius menemukan keunggulan anaknya melalui konsep multiple intelligence bahwa kecerdasan bisa beragam. Ada kecerdasan matematis, kinetik, matematis dan verbal. Setiap anak autis memiliki ciri khusus dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda.
"Ini adalah keunggulan anak autis yang layak dikembangkan," terang ibu Atmazka Ginanjar yang juga menderita autis. Dengan demikian, tak heran cukup banyak anak yang menunjukkan kemampuan di bidangnya, seperti musik, seni, matematika, komputer, dan menggambar. Sebagian individu autis memiliki kemampuan luar biasa tanpa melalui proses belajar yang disebut savant, seperti mampu menghafal kamus ensiklopedia secara rinci.
"Sayangnya, penanganan anak autis di Indonesia cenderung menekankan pada kekurangan (defisit), bukan pada penggalian dan pengembangan potensi," lanjut Adriana. Padahal, pengembangan potensi dapat digunakan sebagai kompensasi dari defisit yang ada.
Karena itu, cara terbaik memahami mereka adalah dengan berusaha mengenali mereka tanpa prasangka tertentu, apalagi membandingkan mereka dengan individu normal.
"Kita juga harus menggunakan perspektif holistik dan positif, yaitu memandang anak autis sebagai individu yang utuh dan memiiki potensi kreatif," pungkasnya.
Kenali individu autis lebih dalam, hargai keunikan mereka, serta percaya bahwa mereka juga mampu berpikir dan mengembangkan diri, maka kita akan membantu mengembangkan individualitas dan potensi mereka secara optimal. Demikian penjelasan Adriana.
"Kita bisa saksikan individu autis yang sukses seperti Oscar Dompas-autis asal Indonesia yang sekarang menjadi pengusaha sekaligus penulis buku, Jasmine Lee O'Neil-penulis perempuan autis, Donna Williams-perempuan penulis autis," ujarnya.
Jadi, kenali penderita Autis dengan cara berbeda. Adriana mengimbau, pandanglah bahwa mereka memiliki keunggulan tersendiri.

Autistik: Dampak Komplikasi Kehamilan ?

KOMPAS.com - Komplikasi yang dialami saat mengandung dan usia calon ibu saat hamil diduga jadi penyebab gangguan autistik pada anak. Begitulah kesimpulan yang dibuat berdasarkan hasil analisa terhadap 40 studi mengenai autisme.

Menurut peneliti dari Harvard School of Public Health, kebanyakan studi mengenai austime menyebutkan usia calon ibu dan juga calon ayah berpengaruh pada kejadian autisme. Ibu hamil yang mengalami perdarahan atau diabetes juga berpeluang memiliki anak autis. Hasil studi ini dilaporkan dalam jurnal ilmiah British Journal of Psychiatry.

Walaupun para peneliti menyadari  kaitan autis dan kondisi kehamilan belum memiliki bukti yang kurang kuat, namun 9 dari 13 studi menyebutkan usia calon ibu saat hamil berpengaruh. Hal ini sesuai dengan demografi calon ibu dalam tiga dekade terakhir ini yang rata-rata hamil di usia 30 tahun ke atas.

Kadar Merkuri Anak Autisme Tak Berlebihan

KOMPAS.com - Polemik mengenai penyebab terjadinya autisme pada anak tampaknya masih akan terus berlanjut. Hipotesis tentang merkuri sebagai penyebab autis yang selama ini dipercaya banyak orang dilawan dengan studi terkini yang dimuat dalam jurnal Environmental Health Perspective. Disebutkan bahwa kadar merkuri pada anak autis tidak berbeda dengan anak normal.

Meski sebelumnya beberapa penelitian telah menunjukkan kadar merkuri yang tinggi pada anak autis, namun studi-studi selanjutnya yang dilakukan menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Kontroversi besar dalam misteri autis adalah klaim yang menyebutkan vaksin yang mengandung timerosal, zat pengawet vaksin yang mengandung merkuri, menyebabkan autis.

Namun, timerosal sudah sejak lama tak dipakai sebagai bahan vaksin. Awal tahun ini para ahli di Amerika Serikat juga menyatakan bahwa tidak ada bukti ilmiah yang menghubungkan antara vaksin MMR dengan kejadian autisme pada anak.

Penelitian terkini yang dilakukan para ahli terhadap 452 anak berusia 2-5 tahun yang memiliki spektrum gangguan autisme dan keterbelakangan perkembangan seperti down syndrome serta anak dengan perkembangan normal sebagai pembanding, tidak menunjukkan adanya perbedaan kadar merkuri.

Peneliti Vaksin-Autisme Dinilai Melanggar

Andrew Wakefield, dokter yang mengaitkan vaksin dengan autisme dan kelainan perut pada anak, belakangan ini menuai kontroversi. Kali ini kritik terkait dengan pelanggaran etika yang dilakukan Andrew tentang proses penelitiannya tersebut.
The General Medical Council menyatakan, dokter tersebut tidak jujur dan tidak bertanggung jawab selama penelitian. Dia dicap tak berperasaan terhadap anak-anak yang terlibat dalam studi tersebut.
Pada 1998, Wakefield (ahli sistem pencernaan) di London’s Royal Free Hospital memublikasikan sebuah studi menggemparkan di jurnal Lancet. Studi itu mengaitkan vaksin Measles, Mumps and Rubella (MMR) dengan autisme dan gangguan pencernaan pada anak. Vaksin itu untuk mencegah penyakit demam campak, beguk, dan rubela. Andrew juga membuat sejumlah pernyataan agar orangtua menolak vaksin MMR. Akibatnya, cakupan vaksinasi menurun, dari sekitar 90 persen pada pertengahan 1990-an menjadi di bawah 70 persen.

Kenapa Anak Autis Tidak Mau Dipeluk ?

Para ilmuwan mengklaim telah menemukan penyebab mengapa anak yang mengidap autisme tidak mau disentuh atau dipeluk, bahkan oleh orangtuanya sendiri.

Jawaban ini diperoleh setelah para ilmuwan meneliti pengidap sindrom Fragile X. Ini merupakan penyakit genetik yang kerap dikaitkan dengan autisme. Sindrom tersebut juga dikenal sebagai penyebab utama retardasi mental dan kesulitan belajar yang bersifat turun-temurun.

Hasil riset menunjukkan, Fragile X menyebabkan tertundanya perkembangan sensor pada bagian otak yang disebut korteks, yang berfungsi merespons sentuhan. Efek domino yang dipicu oleh tentundanya perkembangan ini menyebabkan hubungan di antara sel otak menjadi terganggu.

Fragile X disebabkan oleh mutasi gen pada kromosom X perempuan yang memengaruhi pembentukan sinaps, jaringan penting yang menghubungan sel-sel saraf dalam otak. Oleh karena anak laki-laki hanya memiliki satu kromosom X, mereka menjadi lebih rentan dipengaruhi sindrom ini ketimbang perempuan. Adapun pada perempuan yang memiliki dua kromosom X, pengaruhnya tidak akan terlalu besar kalaupun salah satu kromosomnya terganggu. Anak laki-laki secara umum memang lebih rentan mengidap autisme ketimbang perempuan.

Senam Otak, Terapi Kurangi Gejala Autisme


TAHUN 2009, penyandang autisme di Indonesia mencapai angka 475 ribu. Jumlah yang cukup fantastis. Tapi sayang, biaya pengobatan atau terapi autisme saat ini relatif mahal, sekira Rp750 ribu-Rp3 juta per bulan hingga tak semua kalangan masyarakat bisa menikmatinya.

Secara psikologis, autisme dipahami sebagai keadaan seseorang yang lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Sehingga, sering kali penyandang autis selalu sibuk dengan “dunia”-nya.

Mahalnya biaya terapi autisme melatarbelakangi sekelompok mahasiswa Kedokteran Umum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (KU-UMY), yakni Revani Dewinta Lestarin, Yunita Puji Lestari, Muhammad Nor Tauhid, dan Ragil Adi S, memilah terapi untuk mengurangi gejala autisme yang tidak menghabiskan biaya terlalu besar.

Hormon Cinta Bantu Penderita Autisme

BRON, KOMPAS.com -  Hormon cinta atau oksitosin terbukti bermanfaat memperbaiki fungsi sosial para penderita autisme, demikian dilaporkan sebuah riset terbaru di Prancis.

Angela Sirigu dan timnya dari laboratorium CNRS di Bron, Prancis menemukan pemberian oksitosin dalam bentuk inhalasi kepada partisipan pengidap spektrum  autisme menunjukkan hasil yang baik. Mereka cenderung lebih fokus dalam memberikan perhatian terhadap mata dan wajah manusia -- yang merupakan penanda penting dari interaksi sosial.

Riset ini dilakukan dengan cara membandingkan efek oksitosin pada 13 individu berusia 17-39 tahun  - 10  di antaranya dengan gejala spektrum autis dan tiga lainnya mengidap high functioning autisme (autisme dengan tingkat IQ tinggi) - dengan 13 kelompok populasi kontrol.  Kedua kelompok ini diperintahkan bermain video game sepakbola di mana kelompok autisme mendapatkan inhaler oksitosin.

Bagaimana Pola Diet untuk Penderita Autisme ?

Tanya:
Begini, dok, putera saya usia 1 tahun 1 bulan, dinyatakan oleh dokter menderita autisme (ASD/Autistic Spektrum Disorder). Saat ini sedang diterapi oleh psikiater, dokter spesialis anak, dan psikolog yang sudah berpengalaman menangani autisme, sampai habis biaya banyak. Yang saya ingat, terapi yang diberikan ke putera saya antara lain: risperidone dan terapi ABA (Applied Behavioral Analysis).
Karena kesibukan saya dan suami, sampai lupa bertanya ke dokternya tentang pantangan atau pola diet yang tepat untuk putera saya. Nah, pertanyaan saya kepada dokter Dito, bagaimanakah pola diet yang tepat dan aman untuk penderita autisme? Terimakasih atas jawaban yang diberikan. Semoga dokter sekeluarga sukses selalu!  (Ny B di kota B)
Jawab:
Dear Ny B,
Terimakasih atas kepercayaan Ibu kepada kami. Kami sungguh merasa sedih dan turut berempati dengan keadaan Ibu saat ini.
Kami yakin pasti ada hikmah yang teramat indah yang tengah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk ibu sekeluarga. Pesan kami juga, tenanglah Ibu, di balik semua “kesulitan/penderitaan” ini, pastilah ada kemudahan yang akan Allah berikan.
Langsung ke pokok permasalahan, tentang pola diet untuk penderita autisme, setidaknya ada delapan prinsip diet, yaitu:
8 Prinsip Diet untuk Penderita Autisme
1.Diet bebas gluten dan kasein
2.Diet bebas gula
3.Diet bebas jamur/fermentasi
4.Diet bebas zat adiktif
5.Diet bebas fenol dan salisilat
6.Diet rotasi dan eliminasi
7.Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan
8.Pemberian suplemen makanan
Mari kita bahas satu per satu.
Diet bebas gluten dan kasein minimal tiga bulan; yaitu dengan menghindari produk makanan yang mengandung gluten (biskuit, mie, roti, makanan yang mengandung terigu), produk makanan-minuman yang mengandung susu sapi (keju, mozzarella, butter, permen susu, dsb).
Diet bebas gula minimal 2 minggu dan probiotik. Hindari: gula pasir, sirup, soft drink, fruit juice kemasan, aspartam. Untuk pengganti gula, pakailah gula stevia dan xylitol secara bergantian, atau gula jagung (sorbitol). Gula palem (aren) nartural boleh ditambahkan sedikit untuk membuat kue sebatas aroma.
Diet bebas jamur/fermentasi, dengan menghindari: kecap tauco, keju, kue yang dibuat dengan vermipan/baking soda, termasuk makanan yang lama disimpan, buah-buahan yang dikeringkan (kismis, kurma).
Diet bebas zat adiktif, dengan menghindari semua pewarna, penambah rasa, pengawet, pengemulsi, penyedap rasa (MSG), kaldu kemasan, termasuk menghindari produk olahan (sosis, kormet, chicken nugget, dsb). Boleh memakai zat pewarna alami, seperti daun pandan/suji untuk warna hijau, kunyit untuk warna kuning, dan beet untuk warna merah.
Diet bebas fenol dan salisilat. Fenol terkandung di dalam buah berwarna cerah seperti: anggur, apel, cherry, prunes, plum, almond, dsb. Salisilat terkandung di dalam jeruk dan tomat. Adapun pepaya, mangga, beet, wortel aman dikonsumsi.
Diet rotasi dan eliminasi. Diet ini diberikan setelah memperoleh hasil tes sensitivitas makanan IgG (comprehensive food panel). Untuk makanan yang titer IgG-nya tinggi tidak boleh diberikan sama sekali (eliminasi). Sedangkan makanan yang titer IgG-nya rendah boleh diberikan dengan selang waktu 4 hari (rotasi).
Pengaturan cara memasak dan penyediaan makanan, misalnya:
1.Minum air minimal 8 gelas sehari dari air mineral kemasan atau air yang telah disaring (water purifying system).
2.Menu makanan banyak buah dan sayuran segar setiap hari, misalnya: pepaya, kiwi, nanas. Diberikan bergantian dan sesuai selera anak.
3.Sediakan makanan tinggi protein saat sarapan pagi.
4.Sebaiknya semua makanan dipersiapkan dari rumah, sebagai bekal di sekolah.
5.Pilih peralatan memasak yang terbuat BUKAN dari logam berat.
6.Gantilah peralatan yang terbuat dari alumunium dan teflon dengan alat yang terbuat dari STAINLESS STEEL atau KACA (PYREX).
7.Pisahkanlah semua peralatan ini agar tidak terkontaminasi/tercemari.
Pemberian suplemen makanan
Diberikan sesuai gejala klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan kebutuhan harian anak sesuai dengan usia dan berat badan.Misalnya:
1.Kalsium (1000 mg/hari dosis terbagi).
2.Magnesium glisinat (200-300 mg/hari).
3.Zinc pikolinat dan alfa ketoglutarat (20-50 mg/hari).
4.Selenium (50-100 mg/hari).
5.Vitamin A natural dalam bentuk Cod Liver Oil (dosis sekitar 2500 IU/hari).
6.Vitamin B6 dengan P5P sekitar 50 mg/hari.
7.Vitamin C (dalam bentuk Ester C 500 mg/hari dalam dosis terbagi).
8.Vitamin E (100-200 IU/hari) sebagai antioksidan.
9.Asam Lemak Esensial, diberikan dalam bentuk EPA (Eicosapentoic Acid) 750 mg/hari, DHA (Docosahexanoic Acid) 250-500 mg/hari, dan GLA (Gamma Linoleic Acid) 50-100 mg/hari dalam EPO (Evening Primrose Oil) 1000-1500 mg/hari.
10.Asam amino dalam bentuk amino acid complex 1 kapsul/hari.
11.Kolustrum dalam bentuk liquid 1/2 sendok teh 2x sehari (2,5 gram).
12.Enzim, misalnya: Enzyme-Complete with DPP-IV, 3x sehari, diberikan pada awal makan.
13.Probiotik, diberi preparat yang mengandung 6 jenis mikroorganisme dalam satu kapsul, dosis 1-2 kapsul/hari.
14.Methylulfonylmethane (MSM), diberikan bila pada anak terdapat lingkaran hitam di sekitar atau di bawah mata.
15.Ubiquinone (30 mg 1-2 kapsul/hari).
16.Yeast Control, bila perlu dapat diberikan: oregano, golden seal, dsb.
17.Biotin (300 mg/hari).
18.Taurin, diberikan bila buang air besar (anak penderita autisme) berwarna pucat seperti dempul, sejumlah 1-3 kapsul/hari.
19.Reduced L-Glutathione, 1 kapsul/hari, untuk mencegah kerusakan sel, sebagai antioksidan, dan kelasi alami logam berat.
Setelah pemberian diet di atas, sebaiknya dievaluasi dengan cara mengidentifikasi setiap gejala yang timbul, lalu dibuat perbandingan sebelum dan sesudah melakukan diet.
The last but not least, semoga Ibu sekeluarga diberiNya ketabahan, kesabaran, dan rejeki yang berkah dan berlimpah. Amin.
Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat.
(NB: Jawaban ini bersumber dari scientific paper oleh Dr.Rini P Parmadji Susilo, SpJP. di dalam Konferensi Nasional Autisme-I di Jakarta, 2003.)
Salam SEHAT dan SUKSES selalu!!!
Dr.Dito Anurogo
Peneliti Hematopsikiatri
Penulis Buku dan Ebooks
Konsultan Kesehatan di netsains.com

Sumber : Netsains

Kasus Autis : Rocking and Reading

Betsy Dua puluh dua tahun dirujuk untuk evaluasi oleh staf rumah kelompoknya. Dia telah ditempatkan di rumah beberapa kelompok 3 bulan sebelumnya, setelah pengadilan memerintahkan "deinstitutionalization" dari fasilitas perumahan besar untuk terbelakang. Evaluasi diminta karena Betsy "tidak sesuai" dengan pasien lain dan telah mengembangkan beberapa masalah perilaku, khususnya agresi ditujukan kepada dirinya sendiri dan, kurang umum, terhadap orang lain. Tidak seperti pasien lain di rumah kelompok, ia cenderung "tinggal untuk dirinya sendiri" dan pada dasarnya tidak ada hubungan peer, meskipun ia menanggapi positif beberapa anggota staf. perilaku diri-nya kasar dan agresif biasanya dipicu oleh perubahan yang dibuat dalam rutinitasnya.

Cukup perilaku kasar terdiri dari berulang deburan kakinya dan menggigit tangannya.
Betsy telah ditempatkan dalam perawatan perumahan ketika dia umur 4, dan tetap dalam beberapa jenis pengaturan perumahan sejak itu. Orangtuanya telah meninggal, dan ia tidak punya kontak dengan saudara kandung satu-satunya. Pada saat pemindahan ke rumah kelompok, ia dilaporkan telah electroencephalograms beberapa abnormal, namun tidak ada serangan atau masalah medis lainnya telah dicatat. Ketika terakhir tes psikologis yang diberikan, ia mencapai IQ skala penuh 55, dengan defisit dibandingkan dalam perilaku adaptif.

Kasus Autis : Reggie's Reggression

Reggie adalah 4 tahun ketika ia dievaluasi oleh seorang psikiater anak karena mengkhawatirkan perubahan perilaku di atas 2 bulan terakhir. Dia adalah anak pertama yang lahir untuk orang tua profesional. Menurut mereka, ia adalah seorang bayi yang biasanya bergaul awal pembangunan sepenuhnya dalam batas normal-ia berjalan dan mengucapkan kata-kata tunggal dengan ulang tahun pertamanya dan berbicara dalam kalimat sebelum usia 2. Dia terdaftar di sekolah TK pada usia 3 dan dilatih toilet pada waktu itu. Para orangtua mengatakan bahwa mereka telah rekaman video menunjukkan bahwa pembangunan nya sampai saat itu sepenuhnya normal.

Dua bulan yang lalu, tak lama setelah kelahiran adiknya, Reggie muncul untuk menjadi nonspesifik cemas dan gelisah. Selama beberapa minggu, perilakunya kemunduran tajam dalam beberapa bidang: ia tidak lagi dilatih toilet, tidak lagi terlibat dalam kegiatan perawatan diri sesuai dengan usia, dan sepenuhnya menjadi bisu. Dia juga kemunduran tajam dalam keterampilan sosial, dan orang tuanya mengamati bahwa ia sekarang menghabiskan jam bergoyang-goyang.

Autistic Spectrum Disorder



Menurut DSM-IV autistic spectrum disorder (ASD) merupakan bagian dari pervasive developmental disorder. Pervasif artinya meresap atau yang mendasari sehingga mengakibatkan gangguan lain. Gangguan ini mempunyai 3 gejala utama, yaitu (1) hendaya di bidang sosialisasi, (2) hendaya di bidang komunikasi dan (3) terdapat perilaku repetitif dan stereotipik. Gejala-gejala tersebut harus sudah ada sejak sebelum usia 3 tahun, walaupun demikian diagnosis ditegakkan saat usia 3 tahun. Pada anak usia demikian gejala yang sudah muncul minimal 1 gejala gangguan berikut yaitu dalam hal (1) interaksi sosial, (2) komunikasi sosial atau bahasa, dan (3) permainan simbolik dan imajinatif. Syarat selanjutnya adalah gangguan tersebut bukanlah termasuk Rett’s Disorder dan Childhood Disintegrative Disorder.
Hendaya di bidang interaksi sosial (minimal 2 gejala) meliputi (1) menghindari tatap mata, (2) gagal dalam hubungan pertemanan, (3) kurangnya spontanitas dalam bermain, (4) hilangnya rasa emosional.
Hendaya di bidang komunikasi (minimal 1 gejala) berikut, (1) tidak ada gesture ataupun mimik, (2) tidak bisa mempertahankan bicara lama, (3) bahasa stereotipik dan repetitif dan (4) tidak bisa bemain berpura-pura (sandiwara).

Autisme Part 2

DEFINISI DAN KARAKTERISTIK PERILAKU AUTISME
Kriteria Autisme berdasarkan DSM-IV:
A. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal dua gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3).

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala di bawah:

a. tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang terarah,
b. tak bisa bermain dengan teman sebaya,
c. tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain,
d. kurangnya hubungan emosional dan sosial yang timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala berikut:

a. bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara),
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi,
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang,
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.

(3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala berikut ini:

a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang khas dan berlebih-lebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
c. Ada gerakan-garakan yang aneh, khas, dan diulang-ulang.
d. Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda tertentu.

B. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang: (1) interaksi sosial; (2) bicara dan berbahasa; (3) cara bermain yang kurang variatif.
C. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak.

Karakteristik Perilaku Bermain pada Penyandang Autisme

•perilaku yang khas
•menjaga jarak dengan orang lain
•lebih sering sendiri atau paralel
•bermain lebih sedikit dibanding non autistik
•lebih sedikit menggunakan alat bermain dan kemampuan bermain sangat terbatas
•kesulitan dalam bermain pura-pura dan menirukan sesuatu yang dilakukan orang lain.

ATTENTION DEFICITS AND HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD)

DEFINISI

 kondisi neurologis yang menimbulkan masalah dalam pemusatan perhatian dan hiperaktivitas-impulsivitas, dimana tidak sejalan dengan perkembangan usia anak.
 lebih kepada kegagalan perkembangan dalam fungsi sirkuit otak yang bekerja dalam menghambat monitoring dan kontrol diri, bukan semata-mata gangguan perhatian seperti asumsi selama ini.

2 kategori utama perilaku ADHD

 kurangnya kemampuan memusatkan perhatian
 hiperaktivitas-impulsivitas.

Manifestasi Perilaku

1. Kurangnya kemampuan memusatkan perhatian dapat muncul dalam perilaku:
a. Ketidakmampuan memperhatikan detil atau ceroboh
b. Kesulitan memelihara perhatian terhadap tugas atau aktivitas bermain
c. tidak perhatian saat bicara dengan orang lain
d. Tidak mengikuti perintah dan gagal menyelesaikan tugas
e. sulit mengorganisasikan tugas dan aktivitas

2. hiperaktivitas-impulsivitas sering muncul dalam perilaku:

a. gelisah /tidak tenang di tempat duduk
b. sering meninggalkan tempat duduk di kelas / situasi lain dimana seharusnya duduk tenang
c. berlari atau memanjat berlebihan, selalu terburu-buru atau bergerak terus seperti mesin
d. kesulitan bermain/terlibat dalam aktivitas yang menyenangkan
e. sering menjawab pertanyaan sebelum selesai. (Impulsivitas), berbicara terlalu banyak
f. sulit menunggu giliran (Impl) menyela atau memaksakan pendapat kepada orang lain (Imp)

Diagnosa menurut DSM-IV

A. (1) atau (2)
(1) memenuhi 6 atau lebih gejala kurangnya pemusatan perhatian paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan;
(2) memenuhi 6 atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas paling tidak selama 6 bulan pada tingkat menganggu dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan

B. Gejala kurangnya pemusatan perhatian atau hiperaktivitas-impulsivitas muncul sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tsb muncul dalam 2 seting atau lebih (di sekolah, rumah, atau pekerjaan)¨C.Harus ada bukti secara klinis adanya gangguan dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
D. Gejala tidak terjadi mengikuti gangguan perkembangan pervasive, skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya dan tidak dilihat bersama dengan gangguan mental lain (gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, atau gangguan kepribadian).


Mengapa dia ADHD? (FAKTOR PENYEBAB)

 aspek genetik atau biologis
 kelahiran prematur, penggunaan alkohol dan tembakau pada ibu hamil, dan kerusakan otak selama kehamilan
 zat aditif pada makanan, gula, ragi, atau metode pengasuhan anak yang kering
Tapi semua belum yakin…………………….


TRITMEN BAGI ANAK ADHD

 belum ada obat yang dapat menyembuhkan ADHD
 Tapi ada harapan….
Dengan terapi: farmasi, perilaku, dan metode multimodal.

Cara terbaik: kombinasi pengobatan farmasi dan terapi perilaku

Autisme dan Perkembangannya di Indonesia

Autisme atau biasa yang disebut dengan autis merupakan suatu kondisi seorang anak sejak lahir ataupun pada saat masa belia, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Anak yang menderita autis memiliki gangguan perkembangan yang kompleks. Akibatnya, anak penderita autis terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia yang repetitive, aktifitas dan minat yang obsesif.

Atau dengan bahasa yang lebih mudah, seorang anak autis memiliki kelemahan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Ia juga memiliki kelemahan dalam berinteraksi sosial dan berimajinasi.

Menurut Power (1989), karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang interaksi sosial, komunikasi (bahasa dan bicara), perilaku serta emosi dan pola bermain, gangguan sensoris, dan perkembangan terlambat atau tidak normal. Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil, biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Penyebab Autisme ?

Autisme, sebuah penyakit yang satu abad yang lalu hampir tidak terdengar sama sekali, kini sudah hampir menjadi sesuatu yang normal. Perkembangan autisme terutama makin melejit di beberapa dekade terakhir, seperti yang dapat dilihat pada grafik di sebelah kanan.
Ketika sudah terlanjur, Autisme bisa sangat sulit untuk dikendalikan, apalagi untuk disembuhkan. Jika kita mengetahui berbagai potensi penyebabnya, maka mudah-mudahan kita bisa mengatur agar anak kita terhindar dari itu semua. “Mencegah lebih baik daripada mengobati”, kata pepatah. Dan untuk kasus Autisme, dimana di Amerika saja perawatannya memakan biaya US$ 35 milyar per tahun, pepatah ini sangat telak mengenai sasaran.
Penyebab pasti autisme belum diketahui sampai saat ini. Kemungkinan besar, ada banyak penyebab autisme, bukan hanya satu.
Dahulu sempat diduga bahwa autisme disebabkan karena cacat genetik. Namun cacat genetika tidak mungkin terjadi dalam skala demikian besar dan dalam waktu demikian singkat. Karena itu kemudian para peneliti sepakat bahwa ada banyak kemungkinan penyebab autisme lainnya.
Berbagai hal yang dicurigai berpotensi untuk menyebabkan autisme :

Terapi Oksigen, Harapan Penderita Autis

Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti mengembangkan terapi oksigen hiperbarik (hyperbaric oxygen treatment) untuk mengatasi masalah autisme pada anak. Terapi oksigen hiperbarik ini dilakukan dengan cara memberikan oksigen tekanan tinggi untuk memperbaiki kerja otak.


Pada penderita autisme, terjadi gangguan pada fungsi otak, salah satunya karena kekurangan oksigen sejak lahir atau bahkan selama dalam kandungan. Dengan terapi oksigen inilah kerusakan pada otak bisa diminimalisasi.

Menurut penelitian yang diungkap di jurnal Bio Medical Centre (BMC) Pediatrics, oksigen murni bisa mengurangi inflamasi atau pembekakan di otak dan meningkatkan asupan oksigen di sel-sel otak.
Terapi ini dilakukan dengan sebuah alat berupa tabung dekompresi. Penderita autisme masuk ke dalam tabung itu lalu dialiri oksigen murni dan tekanan udara ditingkatkan menjadi 1,3 atmosfer.

Cara ini rupanya cukup efektif. Pemberian terapi oksigen hiperbarik secara rutin menunjukkan perbaikan pada kondisi saraf dan mengatasi cerebral palsy. Terapi ini banyak dipilih di beberapa negara dan para peneliti terus mengembangkannya.

Dan Rossignol dari International Child Development Resource Centre, Florida, AS, melakukan penelitian terhadap 62 penderita autisme berusia 2-7 tahun. Responden diberi terapi oksigen selama 40 menit setiap hari selama sebulan dengan asupan oksigen 24% dan tekanan udara 1,3 atmosfer.

Hasilnya, terjadi peningkatan hampir di seluruh fungsi organ tubuh, seperti sensor gerak, kemampuan kognitif, kontak mata, kemampuan sosial, dan pemahaman bahasa.

“Kita memang tidak bicara tentang penyembuhan, kita bicara tentang kemajuan kondisi dan tingkah laku penderita. Dengan itu anak autis bisa memperbaiki fungsi kerja otak dan kualitas hidupnya,” kata Rossignol seperti dikutip dari www.bbc.co.uk.

Rossignol sendiri telah membuktikan efektivitas terapi ini pada kedua anaknya yang menderita autisme. Ia mengatakan temuan ini belum berakhir dan masih akan mengembangkan untuk mencari hasil yang lebih optimal.

Sumber : VivaNews

Bunuh Diri dalam Perspektif Teori-Teori Psikologi

Teori-teori psikologi tentang bunuh diri, fokus pada pikiran dan motivasi dari orang-orang yang melakukan percobaan bunuh diri (Barlow & Durand, 2002). Teori-teori psikologi humanis-eksistensialis misalnya, menghubungkan bunuh diri dengan persepsi tentang hidup yang sudah tidak mempunyai harapan atau tidak mempunyai tujuan yang pasti. Beck (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) mengatakan bahwa bunuh diri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh ketidakmampuan individu dalam mengatasi stres.

Shneidman (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) menyatakan bahwa individu yang mencoba bunuh diri adalah individu yang mencoba untuk mengkomunikasikan rasa frustrasinya kepada seseorang yang dianggap penting oleh individu tersebut. Secara garis besar bunuh diri dalam tinjauan psikologis dibahas dengan menggunakan pendekatan teori psikodinamik, teori kognitif-behavior dan teori gangguan mental.

Teori Psikodinamik
Psikodinamik memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang individu adalah merupakan masalah depresi klasik, dalam hal ini, seseorang yang mempunyai agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri (Meningger, dalam Meyer & Salmon, 1998). Konsep Freud tentang insting mati (death instinct), thanatos, merupakan konsep yang mendasari hal tersebut dan menjadi pencetus bagi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Teori Psikodinamik menyatakan bahwa kehilangan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh diri (Meyer & Salmon, 1998).